BIRRUL WÂLIDAIN
Oleh: el-Abat
Dalam Islam,
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya (manusia) untuk selalu berbakti dan tidak
menyekutukan-Nya. Kemudian Allah memberikan pesan untuk senantiasa
memperlakukan baik atau berbakti kepada kedua orang tua (birrul wâlidain).
1. Pengertian Birrul Wâlidain
Secara
bahasa kata al-birru (bahasa Arab)
merupakan kata benda bentuk masdar yang
memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan, kesalehan, kebaikan, belas kasih,
kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan, kedermawanan, surga, hati. Adapun asal
kata Al-birru adalah dari barra–yaburru–burran/birran yang artinya
taat berbakti, bersikap baik-sopan, benar (tidak berdusta), benar (dilaksanakan
sesuai dengan sumpahnya), menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan (Al-Munawwir,
2002:73-74). Al-birru dapat juga berarti hubungan,
berupaya dalam kebaikan (Al-Fairuzi, 1995:384).
Menurut Budiharjo (1994:29) bahwa kata al-birr
itu sepadan dengan kata al-hasan,
al-khair, al-shâlih, al-thayyib dan al-ma’rûf[1]. Kata al-birr berarti “baik” jika dihubungkan
dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika dihubungkan
dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat,
dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan”
jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan
dengan orang tua. Lawan kata dari Al-birru
(yang dihubungkan dengan orang tua) adalah Al-‘Uqûq
yang berarti durhaka. Kata Al-‘Uqûq
berasal dari ‘aqqa–ya’uqqu–‘aqqan,‘uqqûq
berarti merobek, membelah, mengkekahi, durhaka (tidak taat) (Al-Munawwir,
2002:956).
Dengan penjelasan tersebut maka pengertian al-birr adalah bisa ketaatan, kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal
banyak berbuat kebajikan, kedermawanan, surga, hati, menerima, diterima,
mabrur, laris, terhindar dari subhat; dusta dan khianat.
Kata Al-Wâlidaini[2]—bahasa Arab berbentuk isim mutsannâ/kata
benda yang menunjuk dua orang—berarti kedua orang tua (ibu dan bapak), bentuk
tunggalnya adalah “wâlid” (artinya
orang tua). Akar kata “wâlid” berasal dari walada–yalidu–lidah, yang secara bahasa berarti melahirkan,
menumbuhkan, mengasuh, menciptakan, menghasilkan dan menyebabkan. (Al-Munawwir,
2002:1580).
Dengan demikian
istilah Birrul Wâlidain dapat
diartikan sebagai berbuat baiknya seseorang kepada kedua orang ibu bapak yang
telah melahirkan dan memeliharanya. Birrul
Wâlidain juga sering di maksudkan sebagai ‘berbakti’
kepada kedua orang tua. Jika melihat
berbagai makna yang dikandung kata al-Birr, bisa dipahami bahwa orang
yang berbuat baik kepada kedua orang tua setidaknya memiliki karakter-karakter
ketaatan dan kesalehan, kasih sayang dan bertanggung jawab, sopan dan santun,
membawa pada kebahagiaan akhirat (surga) atau ketenangan jiwa (muthma’innah).
Dalam al-Qur’an istilah birrul wâlidain termaktub dalam QS. Maryam/19
ayat 14 dan 32,
وبرا بوالديه ولم يكن جبارا عصيا
"Dan seorang yang
berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi
durhaka.” (QS. Maryam/19: 14)
وبرا بوالدتي ولم يجعلني جبارا شقيا
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang
yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam/19:32)
Istilah yang senada dengan birrul wâlidain (berbuat baik kepada
kedua orang tua) adalah huqûqul wâlidain (memenuhi hak-hak orang tua
atas anak), atau ada juga yang mengistilahkan dengan adâbul wâlidain (adab-adab
kepada kedua orang tua). Huqûq merupakan bentuk jamak dari
kata haq yang berarti hak. Kata haq memiliki arti kenyataan,
kebenaran, kepastian, keadilan, ketetapan, dan sebagainya. Al-Haq bisa berarti juga Yang Maha benar, al-Qur’an dan
agama Islam (al-Munawwir, 2002:12-13). Sedangkan kata adâb merupakan
jamak dari adab (dari aduba-yadabu-adab) yang berarti
kesopanan; pendidikan; aturan, tata cara dalam pergaulan (etiquette) dan
sebagainya (al-Munawwir, 2002:12-13).
Dari makna yang dikandung oleh kata haq
dan adab (bukan adzab=siksaan) pada dasarnya semakna dengan kata al-birr
seperti yang telah diungkapkan di muka, hampir semua maknanya merujuk
kepada hal-hal yang berkaitan dengan al-birr (kebaikan). Artinya bahwa
istilah-istilah yang dipergunakan baik huqûqul wâlidain, adâbul wâlidain
pada dasarnya semakna dengan birrul wâlidain.
Adapun pemakaian istilah dalam penelitian ini,
penulis menggunakan istilah birrul waâlidain. Dengan argumentasi bahwa
term al-birr merupakan kunci etika al-Qur’an (Lihat Syukur, 2004:250). Kata tersebut merupakan elemen dasar dalam kecintaan dan solideritas,
yang menyebabkan hati terikat cinta dan kasih sayang. Menurut al-Mawardi (dalam
Syukur, 2004:250) bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya
kelembutan, adalah terikat eratnya al-birr (kebaikan) dalam hati dalam
berbagai tindakan manusia yang dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang.
Di samping itu, term al-birr juga hampir
disejajarkan dengan taqwâ[3]. Oleh karena itu dalam satu segi al-birr dapat diterjemahkan
sebagai “ketaatan manusia”, atau pada sisi yang lain diartikan sebagai
kebajikan (Syukur, 2004:249-250). Dari sini makna birrul wâlidain sering
juga diartikan sebagai “berbakti” (taat) kepada kedua orang tua di samping
“berbuat baik” kepada kedua orang tua.
Beraneka ragamnya makna yang dikandung kata al-birr[4] jika dirangkum menjadi salah satu kata benda (al-masdar), maka
terdapat kesamaan makna dengan kata al-taqwâ (godliness) yakni
segala perbuatan yang dilakukan atas garis kebenaran ilahi (dalam Syukur,
2004:250).
Dari uraian di atas dapat pahami bahwa kebaikan
yang tertanam kuat dalam diri (hati) seseorang, maka akan terpancar perilaku
baik dalam segala tindakannya. Adapun operasional kebaikan atau
mengimplementasikan amal baik yang paling utama dilakukan seseorang adalah
kepada kedua orang tuanya—setelah ia berbuat baik kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hal itu disebabkan oleh keduanyalah yang memiliki hak-hak (huqûq) atas
anak-anaknya. Karena keduanya memiliki hubungan yang sangat penting baik secara
biologis maupun psikis.
2. Perilaku Birrul Wâlidain dan Aspek-aspeknya
Berbuat baik meliputi makna yang luas dan mencakup berbagai jenis perilaku
dan sikap anak kepada orang tuanya. Sebagaimana Madjid (2000:82) menjelaskan
bahwa perintah Allah mengenai kewajiban anak untuk berbuat baik kepada
ibu-bapak itu bukan sebatas taat atau menaati mereka semata. Karena ketaatan
hanya merupakan sebagian kecil dari bentuk-bentuk perbuatan baik kepada mereka.
Al-Ghazali (2006, 90-91) menyebutkan bahwa di antara adab-adab anak kepada
orang tuanya adalah sebagai berikut: (1) Mendengar pembicaraan keduanya; (2)
Berdiri ketika keduanya berdiri; (3) Mematuhi perintah keduanya; (4) Tidak
berjalan dihadapan keduanya; (5) Tidak mengangkat suara di atas (suara-suara
keduanya); (6) Memenuhi panggilan keduanya; (7) Berusaha mendapatkan ridha
keduanya; (8) Tidak merasa berjasa kepada keduanya dengan berbakti kepada
keduanya; (9) Tidak melirik keduanya dengan marah; (10) Tidak mengerutkan dahi
di hadapan keduanya; (11) Tidak bepergian kecuali dengan izin keduanya.
Senada dengan hal terebut, Syekh al-Jazâirî (2001:74-75) menjelaskan bahwa
seorang muslim apabila mengerti hak orang tua untuk menunaikan secara sempurna
karena ketaatannya kepada Allah, dan melaksanakan wasiatnya, maka sesungguhnya
ia harus melakukan di hadapan keduanya adab-adab berikut: 1) Taat kepada
keduanya pada perintahnya, kecuali yang mengandung kemaksiatan kepada Allah
(QS.Luqmân/31:15); 2) Mengagungkan dan memuliakan kebutuhan keduanya;
merendahkan sikap di hadapan mereka; bertutur kata dan bertindak ramah, tidak
membentak; tidak mengeraskan suara di atas suara mereka; tidak berjalan di
depan mereka; tidak terpengaruh oleh kemauan istri maupun anak; tidak memanggil
dengan nama mereka; tidak bepergian
kecuali dengan izin dan ridha mereka; 3) memenuhi kewajiban-kewajiban pada
setiap yang menjadi tanggung jawabnya; memperbanyak kemampuan melakukan
berbagai macam kebaikan dan kesantunan, seperti: memberi makan keduanya,
memberi pakaian, memberi pengobatan apabila sakit, melindungi mereka dari
bahaya, mendahulukan ketenangan jiwa mereka; 4) menghubungkan persaudaraan yang
tidak menaruh kasihan kecuali dengan kemampuan keduanya; mendo’akan mereka,
memintakan ampun untuk mereka, melaksanakan janji mereka dan memulyakan teman-teman
mereka.
Menurut Sabiq (1994:271) bahwa hak-hak orang tua yang wajib dilaksanakan
anak-anak itu meliputi berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepadanya,
beradab kepadanya, dan taat kepadanya dalam kebajikan. Selanjutnya Langgulung (320-323) memerinci bahwa ada tiga
kategori hak-hak yang harus diberikan oleh seorang anak kepada orang tuanya,
yang telah diterangkan dan diperintahkan Al-Qur’an dan Hadis. Hak-hak tersebut
dikatgorikan ke dalam 3 hak-hak pokok, yaitu:
1)
Anak-anak merawat orang
tuanya dengan baik, berkata lemah lembut, menyayangi kelemahannya, dan selalu
menimbulkan rasa hormat, penghargaan dan syukur atas jasa-jasa bakti mereka
terhadapnya. Di samping mematuhi perinth-perintahnya selama tidak maksiat (QS. Al-Isra’/17:23-24, al-Baqarah/2:8,
83, Luqmân/31:14).
2)
Memberi pemeliharaan,
perbelanjaan dan memelihara kehormatan ibu-bapak tanpa mengharap bayaran dari
mereka. Memelihara mereka saat dalam keadaan lemah dan udzur merupakan yang
pertama-tama diwajibkan oleh Islam. Hal itu dimaksudkan agar keluarga dapat
memelihara kesucian dan kehormatannya, karena jika tidak demikian keluarga
tidak akan kekal dan hidup.
3)
Anak-anak memungkinkan
orang tuanya menunaikan ibadah haji yang tidak sanggup mereka mengerjakannya
dengan harta mereka sendiri. Anak harus mendoakan orang tuanya baik ketika
mereka masih hidup maupun telah tiada (meninggal), dan selalu melanjutkan
kebaikan dengan orang-orang yang menjadi
sahabat ibu-bapaknya.
Dari uraian mengenai kewajiban berbuat baik, menunaikan hak-hak orang tua
atas anak serta adab-adabnya sebagaimana dipaparkan para ahli yang merujuk
kepada al-Qur’an dan sunnah di atas, maka dalam variabel birrul wâlidain
mengandung 4 aspek perilaku, yaitu sebagai berikut: 1) Ketaatan;
2) Adab/Kesopanan; 3) Tanggung jawab dan; 4) Do’a (mendo’akan ibu-bapak).
a) KETAATAN: Taat kepada
Kedua Orangtua
Taat kepada
orang tua merupakan bagian dari berbuat baik kepada mereka (Birrul Wâlidaini) sebagaimana penjelasan
di muka bahwa bentuk ketaatan kepada mereka sama sebagaimana ketaatan orang kepada
yang lainnya kecuali kepada Allah. Ketaatan yang dimaksudkan adalah ketaatan
yang tidak mutlak, karena dalam memenuhinya mengandung syarat, yaitu “selama
tidak durhaka (maksiat) kepada Allah swt.”
Pengertian
taat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:986) berarti senantiasa
menurut (kepada Tuhan, pemerintah, dsb); patuh; tidak berlaku curang, setia;
saleh, kuat beribadah. Ketaatan berarti kepatuhan, kesetiaan; kesalehan. Kata
taat sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata kerja “thâ’a—yathû’u”
yang berarti tunduk, patuh, taat; matang buahnya; menyetujui; memberikan,
berbuat dengan sukarela.
Taat kepada
kedua orang tua dapat diartikan sebagai mentaati atau mematuhi dengan sukarela
terhadap apa-apa yang diperintahkan mereka. Namun karena ketaatan manusia
kepada selain Allah (dalam hal ini orangtua) bersifat tidak mutlak, di batasi
oleh-Nya, maka pengertian taat kepada kedua orang tua dirumuskan sebagai
“mentaati atau mematuhi secara sukarela terhadap apa-apa yang diperintahkan
mereka selama tidak menyalahi aturan Tuhan, Allah (ajaran Islam).”
Landasan mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut,
“Dan jika keduanya (orang tuamu) memaksamu untuk
mempersekutukan dengan. Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. (QS. Luqmân/31:15).
Dari Ali ra. bahwa Nabi mengutus beberapa pasukan dan
mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. Setelah itu ia
menyalakan api dan berkata, “Masuklah kalian ke dalamnya.” Kemudian sebagian
mereka ada yang hendak masuk ke dalamnya, sedangkan yang lain berkata, “Kami
tidak mau masuk dan menghindarinya.” Akhirnya mereka mengadukannya kepada Nabi.
Lalu beliau berkata kepada orang-orang yang hendak memasukinya. “Kalau mereka masuk ke dalam api tersebut,
mereka akan tetap di dalamnya hingga Hari Kiamat.” Kemudian beliau bersabda
kepada yang lainnya, “Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat, sesungguhnya
ketaatan hanya dalam hal kebaikan.” (Dalam
al-Adawi, 2002:58)
Ketaatan kepada Allah sifatnya mutlak adanya,
namun ketaatan kepada makhluk tidak demikian, artinya ketaatan kepada makhluk
yang mengarah kepada kedzaliman, kejahatan, kerusakan (kemaksiatan) tidak
dibenarkan, termasuk kepada kedua orangtua sendiri. Intinya ketaatan yang di
maksudkan agama adalah ketaatan dalam hal kebaikan.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih
dari Handzhalah bin Khuwailid al-Anbarî,
ia berkata, “Ketika saya berada dekat dengan Mu’awiyah, tiba-tiba ada dua orang
laki-laki berseteru tentang kepala Amar—yang terbunuh—Masing-masing dari mereka
berkata, “Sayalah yang telah membunuhnya.” Kemudian Abdullah bin Amru berkata,
“Hendaknya salah seorang dari kalian mengalah kepada temannya, sesungguhnya
saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ia akan dibunuh oleh kaum
pemberontak.” Kemudian Mu’awiyyah berkata, “Lalu mengapa engkau bersama kami?”
‘Abdullah bin Amr menjawab, “Bapak saya mengeluh mengenai diriku kepada Nabi.”
Kemudian beliau bersabda, ”Taatilah bapakmu selama ia masih hidup dan jangan
melanggar perintahnya, karena itulah saya bersamamu dan saya tidak ikut
berperang.” (Dalam al-Adawi, 2002:58)
Dari cerita seperti diungkapkan dalam hadis
tersebut, al-Adawi
(2002:59) menjelaskan bahwa meskipun
‘Abdullah bin Amr mentaati bapaknya karena perintah Rasul, akan tetapi ia tidak
memerangi kaum muslimin dan tidak mengangkat senjatanya untuk memerangi mereka.
Ketaatan seseorang dan rasa baktinya kepada
kedua orang tuanya adalah awal dari ketaatan kepada Allah SWT. Oleh karena itu
jika seseorang mengabaikan (durhaka) dan menyelisihi perintah mereka, berarti
sama artinya ia durhaka kepada-Nya, dan menselisihi perintah Rasul-Nya. Tugas
seorang anak adalah mentaati mereka selama tidak menyuruh kepada kemaksiatan,
kesyirikan, bid’ah, kesesatan dan kemungkaran (al-Adawi, 2002:53).
Di antara perbuatan yang termasuk ketaatan kepada kedua orang tua adalah
sebagai berikut:
1)
Mendengar pembicaraan keduanya
Seorang anak hendaknya mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya dan
tidak membantah di hadapannya. Janganlah berbuat sesuatu yang tidak disukai
oleh keduanya.
Dari Salâm
bin Miskîn, ia berkata; “Aku bertanya kepada al-Hasan: “apa komentar anak bila
seorang laki-laki menyerukan berbuat baik kepada orang tuanya dan mencegah
kemungkaran atas mereka?.” Al-Hasan berkata: “Bila mereka berdua menerima, bila
tidak maka tinggalkanlah.” (Dalam sanadnya terdapat Sâlim bin Miskîn bi
Rabi’ah al-Azdi al-Bashri Abû Rauh. Imam Bukhari, Muslim, Muslim dan Abu Daud
juga meriwayatkan hadisnya. Hadis & keterangan ini dari Ibn Al-Jauzi, tt:48)
2)
Mematuhi perintah keduanya
Wajib bagi
anak untuk mematuhi perintah ibu-bapaknya, selama tidak memerintah kepada
kemaksiatan. Keharusan seseorang untuk mentaati kedua orang tua dapat dipahami dari
hadis riwayat Ahmad, dari Muadz, ia berkata,
Rasulullah SAW berwasiat kepadaku: ”Janganlah kamu durhaka kepada
kedua orang tuamu, sekalipun mereka memerintahkanmu untuk keluar dari
keluargamun atau untuk melepaskan hartamu.” (dalam
Ibn al-Jauzî, tt:15)
Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa,
Ibnu ‘Umar berkata, “Aku mempunyai istri yang
Umar tidak suka kepadanya. Beliau berkata, “Ceraikan dia (istrimu)!” Aku tidak
mau menceraikannya. Kemudian ‘Umar datang kepada Nabi SAW., lalu beliau berkata
(kepadaku): “Taatilah kepada ayahmu.”
(HR. Ahmad dalam Ibn al-Jauzî, tt:16)
Ketika Ka’ab ditanya berkaitan dengan masalah durhaka kepada kedua orang
tua. Dia menjawab: “Bila kedua orang tuamu memerintahkan sesuatu kepadamu,
sementara kamu tidak taat kepada mereka, maka hal itu berarti kamu telah
durhaka kepada mereka.” (Ibn Al-Jauzi, tt:120)
Al-Ajli
dalam Ibn Al-Jauzi (tt:65) berkata: “Aku
berkata kepada Atha’: “Pada suatu malam (dalam keadaan hujan) ibuku membuatku
tidak dapat melakukan shalat berjamaah”—bisa jadi, si ibu memintanya untuk
menemaninya.—Atha menjawab: “Taatlah kepadanya.”
3)
Memenuhi panggilan keduanya
Seorang anak hendaknya tidak mengabaikan panggilan kedua orang tuanya. Ibn
Al-Jauzi (tt:55-56) menjelaskan bahwa tidak dibenarkan seorang mukmin tidak
menghiraukan panggilan kedua orang tuanya, bahkan dalam shalat sekalipun,
apabila orang tua memanggilnya, maka ia harus menjawab (memenuhi) panggilannya.
Al-Awwâm dalam Ibn Al-Jauzi (tt:49) berkata: “Aku berkata kepada Mujâhid:
“Adzan telah dikumandangkan, lalu orang tuaku memanggilku.” Al-Mujâhid berkata,
“Penuhilah panggilan ayahmu.” Ibnu Mudzakkir berkata: “Bila orang tuamu
memanggilmu, sementara kamu melakukan shalat (sunnah), maka penuhilah.”
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa,
Dari Awza’i,
dari Makhûli RA. ia berkata; “Bila ibumu memanggilmu dalam keadaan shalat
(sunnah), maka penuhilah. Bila ayah yang memanggilmu, maka janganlah dikabulkan
sehingga selesai shalat.”
Dengan demikan, memenuhi panggilan kedua orang tua adalah wajib adanya,
bahkan disaat seorang anak sedang shalat sekalipun. Namun shalat yang dimaksud
adalah shalat sunnah. Dan telah disebutkan di atas bahwa ketika ibu yang memanggil (membutuhkan
anaknya), meskipun ketika sang anak sedang shalat, maka harus memenuhi
panggilannya. Berbeda jika ayah yang memanggil. Anak harus melanjutkan shalatnya
terlebih dahulu, kecuali jika ia mulai melakukan shalat.
Nampaknya hal seperti ini mengingat bahwa kemulyaan dan kegungan ibu lebih
besar dari ayah, sebagaimana hadis Nabi SAW.,
Dari Abi
Hurairah r.a, ia berkata: Seorang
laki-laki datang menemui Rasulullah kemudian bertanya: “Siapakah orang yang
lebih berhak kutemani dengan baik?” Rasul menjawab: “Ibumu”, dia bertanya:
“Kemudian siapa?”, Rasul menjawab: “Ibumu”, dia bertanya: “Kemudian siapa?”,
Rasul menjawab: “Ibumu”, dia bertanya: “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab:
“ayahmu” (HR. Muslim, no
Hadis.2548)
Sebuah hadis lain menjelaskan bahwa,
“للوالداة الثلثان من البروالوالدالثلث”
“Seorang ibu mempunyai hak dua pertiga dari kebaikan (bakti dan
ketaatannanaknya) dan untuk ayah sepertiganya.” (HR. Ibn
Syaibah dalam kitab al-Durr al-Mantsur li al-Suyûtî dalam Ibn Al-Jauzi,
tt:64)
4)
Berusaha Mendapatkan Ridha Keduanya
Hendaknya seorang anak menjaga sikap dan tindakannya terhadap kedua orang
tuanya agar mereka senantiasa meridhai. Karena ke-ridhâ-an Allah
terletak pada ke-ridhâ-an mereka. Rasulullah bersabda,
“Ridha Allah
tergantung kepada ridha kedua orang tua dan benci-Nya tergantung kepada benci
orang tua.” (HR. Abû Nu’aim, Kitab Hilyah (2/343) dalam ibn al-Jauzî, tt:105)
Zaid bin Ali bin
Al-Husain pernah berkata kepada anaknya, Yahya:
“Sesungguhnya
Allah SWT. tidak akan rela kepadamu jika aku tidak merelakanmu dan Allah
berwasiat agar kamu memperbaiki/berbakti kepadaku. Allah akan rela kepadaku
karenamu (yakni aku memelihara amanat Allah), sementara Allah tidak berwasiat
kepadaku untuk berbakti kepadamu.
Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa kerelaan Allah akan didapat
oleh seorang anak jika ia mendapatkan kerelaan dari kedua orang tuanya.
Sementara orang tua (bapak) mendapatkan kerelaan Allah, jika orang tua (bapak)
bisa menjaga amanat-Nya, bukan karena berbakti kepada anaknya (Ibn Al-Jauzi,
tt:18)
Seorang sahabat Rasulullah hampir mengakhiri hidupnya dengan sû-ul
khâtimah (buruk diakhir hidupnya) dikarenakan ibunya tidak memberikan maaf
kepadanya. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam hadis berikut:
Dari Abdullah bin Awfa RA. ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada
Nabi SAW., lalu berkata: “Di sini terdapat pemuda yang sekarat (mendekati
ajal).”Dikatakan kepadanya: “Katakanlah, “Lâilâha
illallâh.”” Namun dia tidak mampu mengucapkannya. Rasul bersabda: “Bukankah
dia waktu hidup dia mengucapkannya?” Mereka (para sahabat) berkata: “Benar.”
Rasul bersabda: “Apakah yang mencegahnya untuk mengucapkannya ketika akan
meninggal dunia?” Rasulullah bangun dan kamipun juga bangun bersamanya. Beliau
mendatangi pemuda itu, lalu bersabda: “Wahai pemuda! Katakanlah Lâilâha
illallâh!” pemuda itu menjawab: “Aku tidak bisa mengucapkannya.” Rasul
bersabda : “Mengapa?” Dia menjawab: “Karena aku durhaka kepada ibuku.” Rasul
bertanya: “Apakah dia masih hidup?” Dia menjawab: “benar”, Rasul bersabda:
“Panggil-lah dia!” Para sahabat memanggilnya dan diapun dating kepada
anaknya.Rasul bersabda: ”Apakah ini anakmu?” Sang ibu menjawab: “Benar”, Rasul
bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila dinyalakan api (untuk membakarnya)?” bila
kamu tidak mau memberikan maaf kepadanya, maka kami akan melemparkannya ke
dalam api.” Sang ibu berkata: “Kalau begitu, aku memberikan maaf kepadanya.”
Rasul bersabda: “Saksikan kepada Allah dan tunjukkan pada kita bahwa engkau
telah rela kepadanya!” Sang ibu berkata: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada-Mu
dan kepada Rasul-Mu bahwa aku telah rela kepada anakku.”, Rasul bersabda:
“Wahai anak muda! Katakanlah “Lâilâha illallâh”, pemuda itu berkata: “Lâilâha
illallâh”, Rasul SAW. bersabda: “Segala puji bagi Allah yang
menyelamatkannya dari api neraka.” (Hadis ini dikeluarkan al-Kharaithi
dalam Masâwiul Akhlâq, lihat dalam ibn al-Jauzî, tt:105-108)
5)
Tidak Bepergian Kecuali
dengan Izin Keduanya.
Seorang anak hendaknya tidak bepergian dengan tanpa izin kedua orang
tuanya. Dikatakan bahwa bepergian untuk jihad dan berhijrah yang merupakan
kewajiban kaum mulsim (pada zaman Rasulullah)-pun jika tidak mendapatkan
restu/izin kedua orang tua, maka diharamkan. Hal ini dapat dipahami dari
beberapa hadis berikut:
Dari
Abdullah bin Umar RA., ia berkata, Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW. dan
meminta izin untuk berjihad. Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah kedua orang
tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “Ya, Rasulullah.”Rasulullah bersabda:
“Berjihadlah kepada keduanya (berbakti kepada mereka).”(HR. Imam
Bukhari, imam Muslim, Nasa’i, Ahmad dan imam Ibnu Hibban, lihat dalam ibn
al-Jauzî, tt:21-22)
Dalam foot note-nya ibn al-Jauzî (tt:23) menjelaskan bahwa yang
dimaksud berjihadlah kepada keduanya (berbakti kepada mereka) adalah
berjihad melawan nafsu, melawan setan untuk mendapatkan kerelaan mereka dan
mendahulukan kepentingan mereka daripada kepentingan diri sendiri selama tidak
bertentangan dengan yang digariskan Allah. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
berjihad itu diharamkan bila kedua orang tua atau salah satunya melarangnya
(dengan syarat keduanya muslim). Hal ini disebabkan bahwa berbakti kepada kedua
orang tua hukumnya fardlu ‘ain, sedangkan berjihad hukumnya fardlu
kifâyah.
Mengenai wajibnya meminta izin kepada kedua orang tua juga dijelaskan dalam
Al-Adawî[6] (2002:69-70), ia juga
menjelaskan bahwa yang perlu dicermati bahwa jika jihad telah menjadi fardlu
‘ain maka tidak perlu minta izin, karena seperti dikatakan imam Al-Shan’ânî
bahwa karena kemaslahatan dan manfaat jihad lebih luas. Jihad berfungsi untuk
membela agama dan kaum muslimin secara umum. Oleh sebab itu kemaslahatan umum
lebih diutamakan dari yang lainnya, termasuk berbakti kepada kedua orang tua
yang hanya untuk menjaga kemaslahatan badan saja.
Dalam riwayat Abu Daud dinyatakan:
Dan dari Abdullah
bin Umar RA, berkata demikian pula: “Seorang lelaki dating kepada Nabi SAW
untuk berbai’at kepadanya, lalu berkata, “Aku datang (untuk) berbai’at kepadamu
untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku menangis.” Rasulullah
bersabda, “Kembalilah kepada mereka dan buatlah mereka tertawa sebagaimana kamu
telah membuat membuat mereka menangis.” (HR. Abu
Daud, dalam ibn al-Jauzî, tt:23)
Dalam hadis lain
diriwayatka bahwa,
Dari Abu
Sa’id, ia berkata: “Seorang lelaki dari Yaman hijrah kepada Rasulullah SAW.
lalu Rasul berkata kepadanya: “Adakah kedua orang tuamu berada di Yaman?” Dia
menjawab: “Ya.” Rasul bersabda: “Kembalilah kepada kepada kedua orang tuamu dan
mintalah izin kepada mereka. Bila mereka memberi izin kepadamu, kemarilah, jika
tidak, maka berbaktilah kepada mereka.” (HR. Abu Daud, dalam ibn
al-Jauzî, tt:24)
b) ADAB: Sopan Santun
Kepada Kedua Orang Tua
Secara bahasa (Arab), “adab” berasal dari kata kerja “aduba—ya’dubu” yang memiliki arti sopan, berbudi bahasa
baik; mengundang ke pesta; menghimpun, mengumpulkan; memperbaiki; menghukum,
mengambil tindakan. Bentuk masdhar-nya (kata bendanya) adalah “al-adab” yang
berarti kesopanan, pendidikan, aturan, tata karma dalam pergaulan (etiquette).
Dari akar kata itu pula terbentuk kata-kata “al-adib(u)” yang menjamu; “al-adîb(u)”,
sastrawan; yang sopan atau adat tata karma (al-Munawwir, 2002:12-13). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1997:957) juga disebutkan bahwa istilah adab semakna dengan sopan dan santun[7].
Sopan santun adalah budi pekerti yang baik; tata krama; peradaban; kesusilaan
(1997:957).
Dari urian
tersebut dapatlah disimpulkan bahwa maksud dari beradab kepada kedua
orang tua adalah “berperilaku sopan dan santun kepada kedua
orangtua.”
Diriwayatkan
dari Sâ’id bin Al-Musyyab berkata, “Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak
Allah terhadap dirinya dan tidak beradab dengan perintah dan larangannya, maka
ia akan terisolir.” (al-Qusyairi, 1998:421).
Imam al-Qusyairi (1998:421) menjelaskan bahwa hakikat kesopanan (adab)
adalah keterkumpulan kebaikan. Seseorang yang beradab adalah orang yang telah
mengumpulkan segala kebaikan, termasuk di antaranya pemberian jamuan.
Al-Jalâjili Al-Bashrî dalam al-Qusyairi (1998:422) berkata,
“Tauhid itu
selalu berbarengan dengan iman. Barang siapa yang tidak mempunyai iman, maka ia
tidak punya tauhid. Iman berbarengan dengan syari’at. Barang siapa yang tidak
mempunyai syari’at, maka ia tidak punya iman juga tidak punya tauhid. Syari’at
selalu berbarengan dengan adab (tata karma), Barangkali yang tidak punya adab,
maka ia tidak punya syari’at, tidak punya iman,
dan tidak punya tauhid.”
Maksud dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa seseorang yang
bertauhid sudah tentu ia akan beriman. Jika ia beriman, berarti akan
mengamalkan syari’at (aturan, ajaran) sebagai konskuensi dari keimanannya. Dan
jika ia komitmen mengamalkan syari’at, sudah pasti dia akan memiliki perilaku
kesopanan atau beradab, karena sopan santun atau adab tertuang dalam syari’at.
Dalam konsep Islam, esensi ajaran Islam adalah tauhîd. Menurut
Sihab (2007:91), dari kesimpulan banyak pakar, jika ajaran Islam dilukiskan
dalam satu kata, maka kata tersebut adalah “tauhîd”. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa orang yang tidak beradab, berarti ke-agama-annya
perlu dipertanyakan. Na’udzubillâh min Dzâlik.
Di antara sopan santun seorang anak kepada kedua orang tua adalah sebagai
berikut:
1)
Berkata dengan Lemah
Lembut (Lunak)
Allah berfirman dalam QS. Al-Isrâ’/17:23,
وقضي ربك الا تعبدوا الا اياه
وبالوالدين احسنا امايبلغن عندك الكبر احدهما اوكلاهما فلاتقل لهما اف ولاتنهرهما
وقل لهما قولا كريما
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.”
Seorang anak jika berbicara dengan kedua orang tuanya hendaklah dengan
lemah lembut. Tidak mengangkat suaranya dengan keras di atas suara keduanya,
tidak menepis atau menyangkal pembicaraan mereka, tidak membentak apalagi
mencaci keduanya.
Al-Ad’adawî (2002:45) menjelaskan apabila seorang ayah memarahi, memukul,
mencela atau mencaci anaknya, sang anak tidak boleh membalas perlakuan ayahnya
dengan hal yang sama. Bagaimanapun keadaanya, tidak etis dan tidak baik jika
seorang anak membalas perlakuan ayahnya, bahkan hal semacam ini diharamkan
baginya kapanpun dan dimanapun adanya.
Keadaan seperti itu, pernah terjadi antara Abu Bakar dengan anaknya. Akan
tetapi ia kemudian insyaf dan kembali setelah mengerti bahwa rasa marah dan
emosi yang terjadi pada dirinya merupakan bisikan yang dihembuskan syetan.
2)
Merendahkan Diri di Hadapannya
Dari Ibnu
Umar r.a. berkata, “Pada suatu ketika kami berada di sekitar Nabi saw. kemudian
diberkan kepada beliau batu kerikil. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara
pepohonan ada sebuah pohon yang layaknya seorang muslim.“ Lalu Saya ingin
menjawabnya, bahwa pohon itu adalah kurma. Ternyata dari semua yang hadir saat
itu, saya adalah orang yang paling muda di antara mereka, sehingga saya memilih
diam. Selanjutnya Nabi saw. bersabda, “Pohon itu adalah pohon kurma.” (HR. Al-Bukharî [72], Muslim
[2811])
Ibnu Katsir dalam al-Adawi (2002:29) ketika menjelaskan QS. Al-Isrâ’:24[8]
واخفض لهما جناح الذل من الرحمة , maksudnya
adalah berperilakulah di hadapan mereka dengan segala kerendahan dirimu.
3)
Tidak Memanggil Keduanya dengan Namanya,
Tidak Berjalan dihadapan Keduanya dan Tidak Duduk Sebelum Mempersilahkan Mereka
Duduk.
Jika seorang anak memanggil orang tuanya (bapak-ibu), maka hendaknya tidak
memanggil dengan menyebut namanya. Jika dalam perjalanan, berjalan bersama
dengan ibu-bapaknya, hendaknya tidak berjalan di depannya, kecuali mendapatkan
izin atau dipersilahkan oleh keduanya. Dan jika dalam jamuan tamu atau keadaan
bersama mereka janganlah duduk sebelum mempersilahkan duduk kepada keduanya.
Dari Abû Hurairah ra., “Sesungguhnya Abû Hurairah ra. melihat dua orang
lelaki lalu ia berkata kepada salah satunya: “Apakah hubungan orang ini
denganmu?” Dia menjawab, “Ayahku.” Abû Hurairah berkata, “Jangan memanggilnya
dengan namanya, jangan berjalan di mukanya, dan jangan duduk sebelumnya
(mendahuluinya).” (HR. Thabrânî dalam kitab al-Autash, dalam Jauzi, tt:46)
Farqad dalam Ibn Al-Jauzi (tt:55-56) berkata,
“Tidaklah berbakti seorang anak yang memperlama pandangan kepada orang
tuanya. Dan sungguh melihat kepada mereka adalah ibadah. Tidak layak seorang
anak berjalan di muka keduanya.tidak berbicara bila mereka datang dan tidak
berjalan di arah kanan atau kirinya. Kecuali bila mereka memanggilnya, lalu
mengabulkan panggilan mereka, atau mereka memerintahkan sesuatu kepadanya dan
dia menaatinya. Dan hendaknya berjalan di belakang mereka seperti seorang budak
yang hina.”
Di samping itu, ketika dalam suatu waktu para orang tua sedang duduk, maka
janganlah seorang anak berdiri, sementara mereka yang tua duduk. Sebuah yang
mengisyaratkan hal ini sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir r.a. berkata, “Pada suatu hari
Rasulullah saw. merasa sakit dan kami shalat di beakang beliau yang shalat
sambil duduk, sedangkan Abu Bakar menyambung bacaan takbir Rasulullah agar
didengar para shahabat yang lain. Tiba-tiba Rasulullah menoleh ke arah kami dan
melihat kami dalam posisi berdiri, beliau mengisyaratkan kepada kami untuk
tetap duduk. Setelah salam Rasulullah bersabda, “Tadi kalian hamper
saja melakukan kebiasaan kaumPersia dan Romawi. Yaitu: mereka berdiri kepada
pemimpinnya sedangkan pemimpinnya duduk, jangan kalian melakukan hal itu.
Tirulah apa yang dilakukan imam yang memimpinmu. Jika ia shalat sambil berdiri,
maka shalatlah kalian dengan berdiri, jika ia shalat sambil duduk, maka
shalatlah kalian sambil duduk.”(HR. Muslim, no.413)
Merujuk kepada hadis tersebut, al-Adawi (2002:43) memberi penjelasan bahwa
meskipun hadis tersebut membahas mengenai hukum yang terkait dengan hukum
shalat, yakni makmum berdiri sementara imam duduk, namun ada hal yang penting
yang bisa ditangkap sebagai pelajaran bahwa dimakruhkan seorang anak berdiri
sementara kedua orang tuanya duduk.
4)
Tidak Melirik Keduanya dengan Marah
Maksudnya bahwa tidak boleh seorang anak memandang kedua orang tuanya
dengan pandangan yang kasar (melototi). Menurut Al-Qurtubi dalam (al-Adawi,
2002:29-30) bahwa ketika menjelaskan QS. Al-Isrâ’:24,
واخفض لهما جناح الذل من الرحمة “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan“. Hendaknya seseorang
bersikap dengan serendah-rendahnya di hadapan ke dua ibu bapaknya, baik dalam
perkataan, tingkah laku maupun pandangan. Sangat tidak pantas jika ia
membelalakan matanya ke arah keduanya meskipun ia berada dalam puncak
kemarahan. Kemudian dikatakan bahwa ‘Urwah bin Zubair berkata, “Tidak berbakti
kepada kedua orang tuanya, yaitu orang yang memandang mereka dengan tajam.”
(dalam Ibn Al-Jauzi, tt:118)
Pandanglah
kedua orang tua dengan pandangan penuh hormat dan kasih sayang, tidak dengan
pandangan tajam yang bisa berakibat ketersinggugan dan kemarahan mereka. Sebuah
hadis yang diriwayatkan Baihaqi menjelaskan, “Melihat kepada kedua orang tua
adalah ibadah.” Dalam kitab al-Durr
al-Mantsur li al-Suyûti, bahkan ditambahkan bahwa, “Dan melihat ka’bah,
mushhaf serta saudaramu karena cinta kepada Allah adalah ibadah.” (lihat Ibn Al-Jauzi, tt:49)
5)
Tidak Mencegah Sesuatu
yang Disenangi Mereka Berdua
Imam Bukharî
meriwayatkan dalam “Al-Adâbul Mufrad” dengan sanad yang shahih dari
‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Makna (Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kasih sayang) adalah janganlah sekali-kali
engkau mencegah atau melarang sesuatu yang mereka senangi.” (al-Adawî, 2002:29)
Suatu saat
seseorang bertanya kepada Nabi saw, “ya Rasulullah! siapakah orang yang paling utama saya lakukan kebaikan?”
Beliau menjawab, “Berbuat kebajikan kepada ibu bapakmu! Orang itu bertanya lagi, “Saya tidak memiliki ibu bapak
lagi.” Lalu sabda beliau selanjutnya, ”Berbuatlah kebajikan kepada anakmu,
sebagaimana ibu-bapakmu memiliki hak atasmu, maka begitu pula anakmu memiliki
hak atasmu!” (HR. abî Umar al-Tauqânî dari ‘Utsmân bin ‘Affân dalam al-Ghazalî, tth:217)
6)
Dalam Hidangan Makanan Hendaknya Mendahulukan
Kedua Orang Tua
Seorang anak hendaknya tidak mementingkan diri sendiri dari kedua orang
tuanya, dalam hal makanan dan minuman. Ketika sama-sama membutuhkan suatu makanan, maka
dipersilahkan atau diutamakanlah keduanya terlebih dahulu.
Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim Dari Ibnu Umar
RA. dari Rasulullah SAW. bersabda: “Ada
tiga pemuda yang sedang berjalan-jalan, ketka hujan turu, mereka berteduh di
dalam goa yang terletang di kaki gunung. Secara tiba-tiba seonggok batu gunung
bergelinding lalu menutup pintu goa tempat mereka berteduh. Mereka lantas
berkata: “Cobalah kalian mengingat amal-amal shalih yang pernah kalian perbuat,
jadikanlah ia perantara (tawassul) untuk berdo’a kepada Allah, semoga
Allah membebaskan kaliandari kesulitan ini. kemudian salah satu dari mereka
berkata: “Ya Allah sesungguhnya saya memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut
usia, seorang istri serta satu anak perempuan yang masih kecil, dan saya yang
bertanggung jawab ata mereka semua. Setiap saya pulang dari menggembala, saya
selalu memeraskan dan membuatkan susu untuk mereka. Saya memulainya dari kedua
orang tua saya ebelum istri dan anak perempuan saya, sedangkan jarak keduanya
agak jauh. Pada suatu hari saya belum sempat menemui orang tua saya hingga sore
hari, kemudian saya dapati keduanya telah tdur lelap, sayapun memerah susu
untuk mereka berdua sebagaimana biasanya, kemudian saya mendatangi mereka
dengan segelas sususambil menunggu dalam keadaan berdiri di sebelah mereka.
Saya enggan membangunkan keduanya, saya juga tidak mau memberikan susu ini
kepada bayi saya, walaupun ia merengek dan mengeluh karena rasa lapar. Kondisi
ini terus bertahan hingga dating waktu fajar. Keduanya lalu bangun dan meminum
susu itu. Ya Allah jika sekiranya Engkau mengerti saya melakukan hal itu karena
hanya mencari ke-ridha-an-Mu, maka bebakanlah kami dari batu ini hingga kami
bisa melihat langit. Kemudian Allah pun membebaskan mereka dari himpitan batu
hingga mereka bisa melihat langit. (HR. Bukhari, 5974 dan Muslim, 2743
dengan menggunakan lafadz dari Imam Muslim)
c) TANGGUNG JAWAB: Bertanggung Jawab Atas
Keadaan Kedua Orang Tua
Tanggung jawab secara bahasa berarti 1) keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya. 2) huk fungsi menerima pembebanan. Bertanggung jawab berarti 1)
berkewajiban menanggung; memikul tanggung jawab; 2) menanggung segala
sesuatunya (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1997:1006)
Dalam sebuah hadis mutafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar menceritakan
bahwa,
كلكم راع وكلكم مسئول عن راعيته فالامام راع
وهو مسئول عن راعيته والرجل راع في اهله وهو مسئول عن راعيته والمرة راعيته بيت
زوجها وهي مسئولة عن راعيتها والخادم راع
في مال سيده وهو مسئول عن راعيته والابن راع في مال ابيه وهو مسئول عن راعيته فكلكم راع
وكلكم مسئول عن راعيته ( متفق عليه عن ابن عمر)
“Masing-masing kamu adalah penggembala dan masing-masing kamu bertanggung
jawab terhadap yang digembalakan, maka pemimpin adalah penggembala dan
bertanggung jawab atas gembalaannya; seorang laki-laki adalah penggembala atas
keluarganya dan harus bertanggung jawab atas gembalaannya, orang perempuan
adalah penggembala/penjaga di dalam rumah suaminya dan dia harus bertanggung
jawab atas tugas penjagaannya, dan pembantu rumah adalah penggembala/penjaga
harta milik tuannya dan ia bertanggung jawab terhadap tugasnya, dan anak laki
itu penjaga harta milik ayahnya, dan harus bertanggung jawab terhadap tugasnya.
Maka masing-masing dari kamu itu adalah penggembala/penjaga dan
masing-masingnya akan dimintai pertanggung jawab atas tugas gembalaannya/penjagaannya
itu.”
Dalam hadis tersebut disebutkan kata mas’ûlun yang diartikan
sebagai ‘bertanggung jawab’ atau ‘akan dipertanyakan’. Maksudnya bahwa setiap
orang akan dikenai pertanyaan mengenai perilaku dirinya dan hal-hal yang berkaitan
atau ada hubungan dengannya (ketika di dunia). Hal ini dapat dikatakan pula
bahwa setiap orang akan bertanggung jawab terhadap segala perilaku yang
diperbuatnya.
Beterns (2004:125) menjelaskan bahwa bertanggung
jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang
dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang
tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab, melainkan juga ia harus
menjawab. Orang yang bertanggung jawab tidak boleh mengelak, bila diminta
penjelasan tentang perbuatannya. Jawaban yang dimaksud adalah jawaban yang
harus diberikan kepada diri sendiri, masyarakat luas dan kepada Tuhan (jika dia
seorang yang beragama).
Menurut hemat penulis secara sederhana bisa
dikatakan bahwa orang yang bertanggung jawab berarti orang yang mampu
menyelaraskan antara hak dan kewajibannya. Anak bertanggung
jawab atas kedua orang tua berarti ia
memperhatikan dan memperdulikan terhadap apa yang dilakukan dan dirasakan kedua
orang tua atas dasar hak-hak dan kewajiban sebagai seorang anak.
Al-Hasan, dalam Ibn Al-Jauzi, tt:118—yang dikutip dari kitab al-Durr
al-Mantsûr li al-Syuyûthy (4/171)—pernah ditanya oleh seseorang
mengenai berbakti kepada orang tua, lalu ia berkata, “Hendaklah kamu
korbankan apa yang kamu miliki dan menaati mereka selama tidak maksiat.”
Di saat kedua orang tua telah memasuki masa-masa
tua dan lemah, hendaknya seorang anak lebih giat dan semangat dalam berbakti
kepada kedua orang tuanya. Karena, kondisi yang semakin tua dan lemah membuat
orang tua lebih butuh perhatian dan kasih sayang dari anak-anaknya (al-‘Adawi,
2002:25).
Al-‘Adawî, 2002:13) mengungkapkan bahwa, di
antara amal kebaikan yang paling besar dan mulia adalah berbakti kepada kedua
orang tuanya, terutama ketika mereka telah memasuki usia senja. Betapa besarnya
pengaruh berbakti kepada kedua orang tua dalam mendatangkan keselamatan dan
menghilangkan kesusahan. Tanggung jawab untuk memberikan kebutuhan pokok kepada
orang tua yang telah tua renta lebih diutamakan daripada kebutuhan untuk diri
sendiri. Hadis mengenai hal ini telah di tuturkan di muka[9]. Demikianlah pengaruh dari baktinya seorang anak kepada kedua orang
tuanya, sehingga dapat membantu seseorang dari himpitan kesusahan.
Imam al-Qurthubi Rahimahullahu dalam
menafsirkan firman Allah SWT. “Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur
lanjut.” (QS. Al-Isrâ’/17:23), maksud Allah mengkhususkan pada
kondisi lanjut usia dikarenakan bahwa pada masa-masa tersebut kedua orang tua
sangat membutuhkan rasa bakti seorang anak dan kondisi kondisi kedua orang tua
telah berubah menjadi lemah dan tua. Maka Allah pun mewajibkan kepada anak agar
lebih memperhatikan keadaan mereka daripada keadaan sebelumnya. Dalam keadaan
seperti itu, kedua orang tua juga sudah menjadi tanggungan bagi anak.
Maka keadaan keduanya perlu dimaklumi. Sebagaimana halnya seorang anak pernah
membuat keduanya harus memaklumi keadaannya di saat ia masih kecil. Oleh
karenanya Allah mengkhususkan keadaan ini dan mengabadikannya dalam al-Qur’an (al-‘Adawi, 2002:27-28)
Hadis Imam Muslim dari Abu Hurairah RA. berkata,
bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak sanggup seorang anak membayar jasa
kedua orang tuanya, kecuali apabila ia mendapatkannya sebagai budak kemudian ia
membeli dan membebaskannya.” Imam Al-Nawawi menjelaskan mengenai maksud
dari pada hadis tersebut adalah tidak akan cukup seorang anak membalas kebaikan
orang tuanya, meskipun seandainya ia menemukan orang tuanya dalam keadaan
sebagai seorang budak, kemudian ia membelinya dan memenuhi hak-haknya sebaik
mungkin, kecuali jika ia memerdekakannya (dalam al-‘Adawi, 2002:12)
Atsar dari ibnu ‘Umar RA. (dengan sanad yang
shahih) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam “Al-Adâb al-Mufrad” dari
Thaisalah bin Mayyas berkata, “Ketika saya bersama al-Najdât[10], saya melakukan dosa yang saya anggap termasuk bagian dari dosa-dosa
besar, kemudian saya menceritakan mengenai hal tersebut kepada Ibnu ‘Umr. Ibnu
‘Umar bertanya, “dosa apa itu?” Saya bercerita, “dosa ini dan itu. ”Ibnu ‘Umar
menjawab, “itu tidak termasuk dosa-dosa besar. Dosa-dosa besar itu ada sembilan
macam, yakni: Menyekutukan Allah, membunuh manusia, lari dari medan perang,
menuduh orang berzina, memakan riba, memakan harta anak yatim, berbuat
penyimpangan dalam masjid, mengolok-olok dan tangisan orang tua karena
kedurhakaan seorang anak. Kemudian ibnu Umar berkata kepada saya, “Apakah kamu
menginginkan selamat dari neraka dan masuk surga?” Saya menjawab, “Sungguh demi
Allah.” Beliau berkata, Apakah orang tuamu masih hidup?” Saya menjawab, “Saya
masih mempunyai ibu.” Ibnu ‘Umar
berkata, “Sungguh demi Allah, jika kamu mau melembutkan perkataanmu kepadanya,
memberinya makan, niscaya kamu akan masuk surga selama engkau menjauhi
dosa-dosa besar.” (dalam al-Adawî, 2002:19)
d) DO’A: Mendoakan Kedua Orang Tua
Secara
bahasa “doa” berasal dari bahasa Arab, dalam bentuk kata kerja “da’a—yad’û—du’âan”
yang memiliki arti beraneka ragam, yakni: memanggil, mengundang; minta tolong;
meminta, memohon;, menyuruh datang; mendorong, menyebabkan; mendoakan baik; mendoakan
jelek; meratapi. Sedang dalam bentuk kata bendanya, yakni “al-Du’â (bentuk
jamaknya, “ad’iyah”) berarti seruan, panggilan; permintaan; permohonan,
permintaan, doa; dan yang banyak memohon atau berdoa (al-Munawwir, 2002:406).
Secara
terminologi do’a berarti melahirkan kehinaan dan kerendahan diri dalam keadaan
tiada berdaya dan tiada kekuatan dan kemudian menyatakan hajat, keperluan dan
ketundukan kepada Allah (Ghafur, 2004:212). Do’a juga dimaksudkan sebagai upaya
memanggil Allah dalam rangka mengajukan permohonan kepada-Nya. Pada hakekatnya
esensi do’a tidak berbeda dengan perintah (amar). Perbedaannya, kalau do’a
diajukan dari bawah ke atas, sedangkan amar dititahkan dari atas ke bawah
(Ghafur, 2004:212).
Mendo’akan kedua orang tua berarti memohon dan memintakan hajat, keperluan dan ketundukan kepada
Allah SWT untuk kemaslahatan kedua orang tua. Do’a untuk kedua
orang tua seperti yang diajarkan al-Qur’an adalah mendoakan agar kedua orang
tua diampuni dari dosa-dosanya, dikasih sayangi sebagaimana mereka telah
mengasih sayangi anak-anak mereka dan diberi petunjuk serta keselamatan di
dunia dan akhirat.
Mendoakan
kedua orang tua merupakan kewajiban bagi seorang anak. Sebuah hadis menyatakan,
“Wahai Rasulullah! Adakah sesuatu (bagiku) untuk berbakti kepada kedua
orang tuaku setelah mereka meninggal dunia? Rasul menjawab, “Ya, ada empat
perkara: Berdo’a untuk mereka, memintakan ampun mereka, melaksanakan wasiat
mereka, menghormati teman-teman mereka dan menyambung sanak kerabat yang tidak
ada hubungan denganmu kecuali dengan mereka.” (HR.Bukharî, dalam
Jauzi, tt, 150-151)
Do’a anak
akan menjadi amal kebaikan dan akan dapat meringankan beban orang tua ketika mereka berada di alam baka. Karena di
antara amal di dunia yang dapat sampai memberi manfa’at dan syafa’at kepada
orang yang telah meninggal adalah do’a anak yang shalih.
Diriwayatkan
dari Abû Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika anak Âdam meninggal
maka amalnya telah terputus, kecuali tiga hal: sadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfa’at dan anak yang shaleh yang meno’akan orang tuanya.”
(HR.Bukharî)
Dari Abû
Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Agung akan mengangkat derajat hamba-Nya yang shalih di surga,
merekapun berkata, “Wahai Tuhanku, dari manakah semua ini?” Allah berfirman,
“Dari anakmu.” (HR. Ahmad, dalam Jauzi, tt, 151-152)
Allah
berfirman dan mengajarkan do’a untuk kedua orang tua sebagaimana terlukis dalam
QS.al-Isrâ’/17:24:
واخفض لهماجناح من الدل من الرحمه وقل
رب ارحمهما كماربياني صغيرا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
(QS.al-Isrâ’/17:24)
Do’a Nabi Nuh AS.
sebagaimana yang temaktub dalam QS. Nûh/71:28,
رب اغفرلي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا
وللمؤمنين والمؤمنت ولا تزد الظلمين الا تبارا
“Ya Tuhanku! ampunilah Aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.
dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain
kebinasaan". (QS. Nûh/71:28)
Nabi Ibrâhîm AS. juga berdo’a (dalam QS.Ibrâhîm/14:41),
ربنا اغفرلي ولوالدي وللمؤمنين يوم
يقوم الحساب
“Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan
sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS. Ibrâhîm/14:41)
Seorang anak
yang shaleh adalah anak yang selalu santun kepada kedua orang tuanya dan tidak
lupa selalu meminta kepada Allah agar keduanya senantiasa diliputi kebaikan,
meskipun orang tuanya kafir, ia selalu berharap agar orang tuanya diberi
petunjuk kebaikan dan tidak ingin orang tuanya mendapatkan siksaan. Bahkan ia
selalu memberi masukan-masukan demi kebaikan orang tua hingga ahir hayat orang
tuanya (al-‘Adawi, 2002:66)
Hal tersebut seperti yang pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrâhim AS. ketika
beliau mengharapkan agar bapaknya kembali kepada kebenaran (QS. Maryam/19:41-45[11]), bahkan Ibrahim tetap memintakan ampun untuk ayahnya setelah
kematiannya, akan tetapi kemudian Allah melarangnya (QS. Al-Taubah/9:114[12]). Demikian pula yang pernah dialami oleh Abu Hurairah yang meminta
kepada Rasulullah SAW. untuk mendo’akan ibunya yang masih musyrik agar
mendapatkan petunjuk[13].
[1] Al-hasan berarti ibarat untuk setiap hal yang menyenangkan dan menggembirakan
seperti sesuatu yang bagus, baik, cantik, elok, indah. Lawan katanya adalah al-qubh, yang berarti sesuatu
yang tidak sesuai dengan pandangan mata dan sesuatu perbuatan atau hal ihwal
yang tidak sesuai dengan hati nurani. Al-khair,
berarti sesuatu yang disenangi oleh manusia (kecenderungan atau condong). Lawan
katanya adalah al-Syarr yang berarti
sesuatu yang tidak disenangi oleh setiap orang. Al-shâlih, maksudnya adalah mengikuti peraturan yang telah
ditentukan (mengikuti ajaran agama). Lawan katanya adalah fasad, yang berarti kerusakan. Yaitu keluarnya sesuatu dari garis
yang ditentukan. Al-thayyib, berarti sesuatu yang disenangi karena mulia
dan baik. Lawan katanya al-Khabîts
yang berarti sesuatu yang dibenci karena hina & rendah. Dan al-ma’rûf, berarti semua perbuatan yang
diketahui kebaikannya baik ditinjau dari akal maupun syara’. Sedangkan al-birr berarti “baik” jika dihubungkan
dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika
dihubungkan dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar
subhat, dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak
ketaatan” jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika
dihubungkan dengan orang tua (Lihat dalam Budiharjo, 1994:29)
[2] Al-Wâlidaini merupakan bentuk mudlâf ilaih, di
mana dalam keadaan rafa’nya adalah Al-Wâlidâni
(kedua orang tua, ibu dan bapak)
[3] ”.. Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mâidah/5:2)
[4] Menurut
Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, bahwa kata al-birr
mencakup hampir seluruh perbuatan baik: to be reverent, dutiful, devoted; to
be kind; to be charitable, beneficent, do good; to obey; to treat with
reverence, to honor; to be honest, truthfull, to be true, valid; to keep, to
warrant, justify, vindicate; to acquit, absolve, exonerate, exculpate, dan clear
(Lihat dalam Syukur, 2004:250)
[5] Diriwayatkan al-Bukhârî pada Fath al-Barî
(13/233), Muslim (1840)
[6] Ada
2 keadaan yang memerlukan izin kedua orang tua ketika hendak berhijrah, yakni: pertama,
jika kedua orang tuanya muslim dan kedua, jika hukum berjihad itu fardu kifâyah.
Ibn Hazm dalam kitabnya “Al-Muhallâ” berkata: “Tidak boleh berjihad
tanpa izin kedua orang tua. Kecuali jika musuh sudah menyerbu dan memasuki
daerah kaum muslimin, maka bagi siapapun yang bisa menolongnya, wajib untuk
dating dan menolong mereka, apakah kedua orang tuanya mengizinkannya ataupun
tidak. Kecuali, jika keduanya atau salah satunya menghilang setelah
sepeninggalnya. Maka dia tidak boleh meninggalkan salah satu yang masih
tersisa.” (LIhat dalam Al-Adawî,
2002:65)
[7] Sopan berarti 1) hormat dan takzim; tertib menurut adat yang baik; 2) beradab;
tahu adat; baik budi bahasanya; 3) baik kelakuannya. Kemudian santun
berarti 1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan; sabar dan
tenang; 2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong. (1997:878).
[9] Diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim Dari Ibnu Umar RA. dari Rasulullah SAW.
bersabda: “Ada tiga pemuda yang sedang berjalan-jalan, ketka hujan turu, mereka
berteduh di dalam goa yang terletang di kaki gunung. Secara tiba-tiba seonggok
batu gunung bergelinding lalu menutup pintu goa tempat mereka berteduh. Mereka
lantas berkata: “Cobalah kalian mengingat amal-amal shalih yang pernah kalian
perbuat, jadikanlah ia perantara (tawassul) untuk berdo’a kepada Allah,
semoga Allah membebaskan kaliandari kesulitan ini. kemudian salah satu dari
mereka berkata: “Ya Allah sesungguhnya saya memiliki kedua orang tua yang sudah
lanjut usia, seorang istri serta satu anak perempuan yang masih kecil, dan saya
yang bertanggung jawab ata mereka semua. Setiap saya pulang dari menggembala,
saya selalu memeraskan dan membuatkan susu untuk mereka. Saya memulainya dari
kedua orang tua saya sebelum istri dan anak perempuan saya, sedangkan jarak
keduanya agak jauh. Pada suatu hari saya belum sempat menemui orang tua saya
hingga sore hari, kemudian saya dapati keduanya telah tdur lelap, sayapun
memerah susu untuk mereka berdua sebagaimana biasanya, kemudian saya mendatangi
mereka dengan segelas sususambil menunggu dalam keadaan berdiri di sebelah
mereka. Saya enggan membangunkan keduanya, saya juga tidak mau memberikan susu
ini kepada bayi saya, walaupun ia merengek dan mengeluh karena rasa lapar.
Kondisi ini terus bertahan hingga dating waktu fajar. Keduanya lalu bangun dan
meminum susu itu. Ya Allah jika sekiranya Engkau mengerti saya melakukan hal
itu karena hanya mencari ke-ridha-an-Mu, maka bebakanlah kami dari batu ini
hingga kami bisa melihat langit. Kemudian Allah pun membebaskan mereka dari
himpitan batu hingga mereka bisa melihat langit. (HR. Bukhari, 5974 dan
Muslim, 2743 dengan menggunakan lafadz dari Imam Muslim)
[10] Al-Najdât adalah sahabat Najdah bin’Amir al-Khârijî
sebagaimana dikatakan Fadlullâh al-Jailânî
[11]“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah
Ibrahim di dalam Al kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang
yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada
bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai
bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang
tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya
aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka
kamu menjadi kawan bagi syaitan" (QS. Maryam/19:41-45)
[12]“Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim
bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.” (QS. Al-Taubah/9:114)
[13] Imam
Muslim meriwayatkan dalam shaihnya dari hadis Abu Hurairah RA.,
ia berkata: “Saya mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Pada
suatu hari saya mengajaknya untuk masuk Islam, namun saya malah mendengarnya
mengatakan tentang Rasulullah SAW. sesuatu yang saya membencinya.
Kemudian saya mendatangi Rasulullah SAW. sambil menangis. Saya berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sudah mengajak ibuku untuk masuk Islam,
akan tetapi ia enggan dan tidak mendengarkanku. Pada hari ini saya juga
mengajaknya masuk Islam, akan tetapi saya malah mendengarnya mengatakan tentang
dirimu seuatu yang saya membencinya. Berdo’alah kepada Allah agar berkenan memberi
petunjuk kepada ibuku. Lalu Rasulullah SAW. berkata: “Ya Allah
berilkanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.” Kemudian saya keluar
mengharapkan berita menyenangkan dengan adanya do’a Rasulullah. Ketika sampai
saya langsung menuju pintu, ternyata dalam keadaan tertutup. Lalu saya
mendengar ibuku bergegas sambil berkata: “Jangan masuk dulu wahai Abu
Hurairah!” Kemudian saya mendengar bunyi gemercik air. Abu Hurairah berkata:
“Ibuku sudah mandi lalu memakai pakaiannya dan cepat-cepat memakai penutup mukanya
kemudian membuka pintu dan berkata: “Wahai Abu Hurairah saya bersaksi
bahwasanya tidak Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah. Abu Hurairah berkata:
“Kemudian saya kembali kepada Rasulullah SAW. dan menemuinya sambil
menangis karena gembira.” Saya berkata: “Wahai Rasulullah saya memberimu kabar
gembira; Allah telah mengabulkan do’a-mu dan memberi petunjuk kepada ibu Abu
Hurairah.” Kemudia Rasulullah memuji Allah dan mengatakan sesuatu yang baik.
Saya (Abu Hurairah) berkata: “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar
saya dan ibu saya menjadi cinta kepada orang-orang yang beriman dan merekapun
mencintai kami. Abu Hurairah berkata: “Kemudian Rasulullah SAW. berkata:
“Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini (maksudnya Abu Hurairah) dan ibunya
mencintai orang-orang yang beriman, dan jadikanlah mereka mencintai keduanya.”
Maka tidak ada dijadikan seorang mukmin yang mendengar dan melihat saya,
kecuali ia mencintai saya. (HR. Muslim, No. 2491)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar