Powered By Blogger

Rabu, 06 Juni 2012

BIRRUL WÂLIDAIN


BIRRUL  WÂLIDAIN
Oleh: el-Abat

Dalam Islam, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya (manusia) untuk selalu berbakti dan tidak menyekutukan-Nya. Kemudian Allah memberikan pesan untuk senantiasa memperlakukan baik atau berbakti kepada kedua orang tua (birrul wâlidain).
1.     Pengertian Birrul Wâlidain  
Secara bahasa kata al-birru (bahasa Arab) merupakan kata benda bentuk masdar yang memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan, kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan, kedermawanan, surga, hati. Adapun asal kata Al-birru adalah dari barra–yaburru–burran/birran yang artinya taat berbakti, bersikap baik-sopan, benar (tidak berdusta), benar (dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya), menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan (Al-Munawwir, 2002:73-74). Al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan (Al-Fairuzi, 1995:384).
Menurut Budiharjo (1994:29) bahwa kata al-birr itu sepadan dengan kata al-hasan, al-khair, al-shâlih, al-thayyib dan al-ma’rûf[1]. Kata al-birr berarti “baik” jika dihubungkan dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika dihubungkan dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat, dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan” jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua. Lawan kata dari Al-birru (yang dihubungkan dengan orang tua) adalah Al-‘Uqûq yang berarti durhaka. Kata Al-‘Uqûq berasal dari ‘aqqa–ya’uqqu–‘aqqan,‘uqqûq berarti merobek, membelah, mengkekahi, durhaka (tidak taat) (Al-Munawwir, 2002:956).
Dengan penjelasan tersebut maka pengertian al-birr adalah bisa ketaatan, kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan, kedermawanan, surga, hati, menerima, diterima, mabrur, laris, terhindar dari subhat; dusta dan khianat.
Kata Al-Wâlidaini[2]—bahasa Arab berbentuk isim mutsannâ/kata benda yang menunjuk dua orang—berarti kedua orang tua (ibu dan bapak), bentuk tunggalnya adalah “wâlid” (artinya orang tua).  Akar kata “wâlid” berasal dari walada–yalidu–lidah, yang secara bahasa berarti melahirkan, menumbuhkan, mengasuh, menciptakan, menghasilkan dan menyebabkan. (Al-Munawwir, 2002:1580).
Dengan demikian istilah  Birrul Wâlidain  dapat diartikan sebagai berbuat baiknya seseorang kepada kedua orang ibu bapak yang telah melahirkan dan memeliharanya. Birrul Wâlidain juga sering di maksudkan sebagai ‘berbakti’ kepada kedua orang tua.  Jika melihat berbagai makna yang dikandung kata al-Birr, bisa dipahami bahwa orang yang berbuat baik kepada kedua orang tua setidaknya memiliki karakter-karakter ketaatan dan kesalehan, kasih sayang dan bertanggung jawab, sopan dan santun, membawa pada kebahagiaan akhirat (surga) atau ketenangan jiwa (muthma’innah).
Dalam al-Qur’an istilah birrul wâlidain termaktub dalam QS. Maryam/19 ayat 14 dan 32,
وبرا بوالديه ولم يكن جبارا عصيا
"Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam/19: 14)
وبرا بوالدتي ولم يجعلني جبارا شقيا
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam/19:32)

Istilah yang senada dengan birrul wâlidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) adalah huqûqul wâlidain (memenuhi hak-hak orang tua atas anak), atau ada juga yang mengistilahkan dengan adâbul wâlidain (adab-adab kepada kedua orang tua). Huqûq merupakan bentuk jamak dari kata haq yang berarti hak. Kata haq memiliki arti kenyataan, kebenaran, kepastian, keadilan, ketetapan, dan sebagainya. Al-Haq bisa berarti juga Yang Maha benar, al-Qur’an dan agama Islam (al-Munawwir, 2002:12-13). Sedangkan kata adâb merupakan jamak dari adab (dari aduba-yadabu-adab) yang berarti kesopanan; pendidikan; aturan, tata cara dalam pergaulan (etiquette) dan sebagainya (al-Munawwir, 2002:12-13).
Dari makna yang dikandung oleh kata haq dan adab (bukan adzab=siksaan) pada dasarnya semakna dengan kata al-birr seperti yang telah diungkapkan di muka, hampir semua maknanya merujuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan al-birr (kebaikan). Artinya bahwa istilah-istilah yang dipergunakan baik huqûqul wâlidain, adâbul wâlidain pada dasarnya semakna dengan birrul wâlidain.
Adapun pemakaian istilah dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah birrul waâlidain. Dengan argumentasi bahwa term al-birr merupakan kunci etika al-Qur’an (Lihat Syukur, 2004:250). Kata tersebut merupakan elemen dasar dalam kecintaan dan solideritas, yang menyebabkan hati terikat cinta dan kasih sayang. Menurut al-Mawardi (dalam Syukur, 2004:250) bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya kelembutan, adalah terikat eratnya al-birr (kebaikan) dalam hati dalam berbagai tindakan manusia yang dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Di samping itu, term al-birr juga hampir disejajarkan dengan taqwâ[3]. Oleh karena itu dalam satu segi al-birr dapat diterjemahkan sebagai “ketaatan manusia”, atau pada sisi yang lain diartikan sebagai kebajikan (Syukur, 2004:249-250). Dari sini makna birrul wâlidain sering juga diartikan sebagai “berbakti” (taat) kepada kedua orang tua di samping “berbuat baik” kepada kedua orang tua.
Beraneka ragamnya makna yang dikandung kata al-birr[4] jika dirangkum menjadi salah satu kata benda (al-masdar), maka terdapat kesamaan makna dengan kata al-taqwâ (godliness) yakni segala perbuatan yang dilakukan atas garis kebenaran ilahi (dalam Syukur, 2004:250).
Dari uraian di atas dapat pahami bahwa kebaikan yang tertanam kuat dalam diri (hati) seseorang, maka akan terpancar perilaku baik dalam segala tindakannya. Adapun operasional kebaikan atau mengimplementasikan amal baik yang paling utama dilakukan seseorang adalah kepada kedua orang tuanya—setelah ia berbuat baik kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal itu disebabkan oleh keduanyalah yang memiliki hak-hak (huqûq) atas anak-anaknya. Karena keduanya memiliki hubungan yang sangat penting baik secara biologis maupun psikis.

2.     Perilaku Birrul Wâlidain dan Aspek-aspeknya
Berbuat baik meliputi makna yang luas dan mencakup berbagai jenis perilaku dan sikap anak kepada orang tuanya. Sebagaimana Madjid (2000:82) menjelaskan bahwa perintah Allah mengenai kewajiban anak untuk berbuat baik kepada ibu-bapak itu bukan sebatas taat atau menaati mereka semata. Karena ketaatan hanya merupakan sebagian kecil dari bentuk-bentuk perbuatan baik kepada mereka.
Al-Ghazali (2006, 90-91) menyebutkan bahwa di antara adab-adab anak kepada orang tuanya adalah sebagai berikut: (1) Mendengar pembicaraan keduanya; (2) Berdiri ketika keduanya berdiri; (3) Mematuhi perintah keduanya; (4) Tidak berjalan dihadapan keduanya; (5) Tidak mengangkat suara di atas (suara-suara keduanya); (6) Memenuhi panggilan keduanya; (7) Berusaha mendapatkan ridha keduanya; (8) Tidak merasa berjasa kepada keduanya dengan berbakti kepada keduanya; (9) Tidak melirik keduanya dengan marah; (10) Tidak mengerutkan dahi di hadapan keduanya; (11) Tidak bepergian kecuali dengan izin keduanya.
Senada dengan hal terebut, Syekh al-Jazâirî (2001:74-75) menjelaskan bahwa seorang muslim apabila mengerti hak orang tua untuk menunaikan secara sempurna karena ketaatannya kepada Allah, dan melaksanakan wasiatnya, maka sesungguhnya ia harus melakukan di hadapan keduanya adab-adab berikut: 1) Taat kepada keduanya pada perintahnya, kecuali yang mengandung kemaksiatan kepada Allah (QS.Luqmân/31:15); 2) Mengagungkan dan memuliakan kebutuhan keduanya; merendahkan sikap di hadapan mereka; bertutur kata dan bertindak ramah, tidak membentak; tidak mengeraskan suara di atas suara mereka; tidak berjalan di depan mereka; tidak terpengaruh oleh kemauan istri maupun anak; tidak memanggil dengan nama mereka;  tidak bepergian kecuali dengan izin dan ridha mereka; 3) memenuhi kewajiban-kewajiban pada setiap yang menjadi tanggung jawabnya; memperbanyak kemampuan melakukan berbagai macam kebaikan dan kesantunan, seperti: memberi makan keduanya, memberi pakaian, memberi pengobatan apabila sakit, melindungi mereka dari bahaya, mendahulukan ketenangan jiwa mereka; 4) menghubungkan persaudaraan yang tidak menaruh kasihan kecuali dengan kemampuan keduanya; mendo’akan mereka, memintakan ampun untuk mereka, melaksanakan janji mereka dan memulyakan teman-teman mereka.
Menurut Sabiq (1994:271) bahwa hak-hak orang tua yang wajib dilaksanakan anak-anak itu meliputi berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepadanya, beradab kepadanya, dan taat kepadanya dalam kebajikan. Selanjutnya  Langgulung (320-323) memerinci bahwa ada tiga kategori hak-hak yang harus diberikan oleh seorang anak kepada orang tuanya, yang telah diterangkan dan diperintahkan Al-Qur’an dan Hadis. Hak-hak tersebut dikatgorikan ke dalam 3 hak-hak pokok, yaitu:
1)     Anak-anak merawat orang tuanya dengan baik, berkata lemah lembut, menyayangi kelemahannya, dan selalu menimbulkan rasa hormat, penghargaan dan syukur atas jasa-jasa bakti mereka terhadapnya. Di samping mematuhi perinth-perintahnya selama tidak maksiat (QS. Al-Isra’/17:23-24, al-Baqarah/2:8, 83, Luqmân/31:14).
2)     Memberi pemeliharaan, perbelanjaan dan memelihara kehormatan ibu-bapak tanpa mengharap bayaran dari mereka. Memelihara mereka saat dalam keadaan lemah dan udzur merupakan yang pertama-tama diwajibkan oleh Islam. Hal itu dimaksudkan agar keluarga dapat memelihara kesucian dan kehormatannya, karena jika tidak demikian keluarga tidak akan kekal dan hidup.
3)     Anak-anak memungkinkan orang tuanya menunaikan ibadah haji yang tidak sanggup mereka mengerjakannya dengan harta mereka sendiri. Anak harus mendoakan orang tuanya baik ketika mereka masih hidup maupun telah tiada (meninggal), dan selalu melanjutkan kebaikan  dengan orang-orang yang menjadi sahabat ibu-bapaknya.
Dari uraian mengenai kewajiban berbuat baik, menunaikan hak-hak orang tua atas anak serta adab-adabnya sebagaimana dipaparkan para ahli yang merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah di atas, maka dalam variabel birrul wâlidain mengandung 4 aspek perilaku, yaitu sebagai berikut: 1) Ketaatan; 2) Adab/Kesopanan; 3) Tanggung jawab dan; 4) Do’a (mendo’akan ibu-bapak).

a)    KETAATAN: Taat kepada Kedua Orangtua
Taat kepada orang tua merupakan bagian dari berbuat baik kepada mereka (Birrul Wâlidaini) sebagaimana penjelasan di muka bahwa bentuk ketaatan kepada mereka sama sebagaimana ketaatan orang kepada yang lainnya kecuali kepada Allah. Ketaatan yang dimaksudkan adalah ketaatan yang tidak mutlak, karena dalam memenuhinya mengandung syarat, yaitu “selama tidak durhaka (maksiat) kepada Allah swt.”
Pengertian taat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:986) berarti senantiasa menurut (kepada Tuhan, pemerintah, dsb); patuh; tidak berlaku curang, setia; saleh, kuat beribadah. Ketaatan berarti kepatuhan, kesetiaan; kesalehan. Kata taat sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata kerja “thâ’a—yathû’u” yang berarti tunduk, patuh, taat; matang buahnya; menyetujui; memberikan, berbuat dengan sukarela.
Taat kepada kedua orang tua dapat diartikan sebagai mentaati atau mematuhi dengan sukarela terhadap apa-apa yang diperintahkan mereka. Namun karena ketaatan manusia kepada selain Allah (dalam hal ini orangtua) bersifat tidak mutlak, di batasi oleh-Nya, maka pengertian taat kepada kedua orang tua dirumuskan sebagai “mentaati atau mematuhi secara sukarela terhadap apa-apa yang diperintahkan mereka selama tidak menyalahi aturan Tuhan, Allah (ajaran Islam).” Landasan mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut,
“Dan jika keduanya (orang tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan. Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqmân/31:15).

Imam al-Bukharî dan Muslim[5] meriwayatkan,
Dari Ali ra. bahwa Nabi mengutus beberapa pasukan dan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. Setelah itu ia menyalakan api dan berkata, “Masuklah kalian ke dalamnya.” Kemudian sebagian mereka ada yang hendak masuk ke dalamnya, sedangkan yang lain berkata, “Kami tidak mau masuk dan menghindarinya.” Akhirnya mereka mengadukannya kepada Nabi. Lalu beliau berkata kepada orang-orang yang hendak memasukinya. “Kalau mereka masuk ke dalam api tersebut, mereka akan tetap di dalamnya hingga Hari Kiamat.” Kemudian beliau bersabda kepada yang lainnya, “Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat, sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal kebaikan.”  (Dalam al-Adawi, 2002:58)

Ketaatan kepada Allah sifatnya mutlak adanya, namun ketaatan kepada makhluk tidak demikian, artinya ketaatan kepada makhluk yang mengarah kepada kedzaliman, kejahatan, kerusakan (kemaksiatan) tidak dibenarkan, termasuk kepada kedua orangtua sendiri. Intinya ketaatan yang di maksudkan agama adalah ketaatan dalam hal kebaikan.    
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Handzhalah bin Khuwailid  al-Anbarî, ia berkata, “Ketika saya berada dekat dengan Mu’awiyah, tiba-tiba ada dua orang laki-laki berseteru tentang kepala Amar—yang terbunuh—Masing-masing dari mereka berkata, “Sayalah yang telah membunuhnya.” Kemudian Abdullah bin Amru berkata, “Hendaknya salah seorang dari kalian mengalah kepada temannya, sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ia akan dibunuh oleh kaum pemberontak.” Kemudian Mu’awiyyah berkata, “Lalu mengapa engkau bersama kami?” ‘Abdullah bin Amr menjawab, “Bapak saya mengeluh mengenai diriku kepada Nabi.” Kemudian beliau bersabda, ”Taatilah bapakmu selama ia masih hidup dan jangan melanggar perintahnya, karena itulah saya bersamamu dan saya tidak ikut berperang.” (Dalam al-Adawi, 2002:58)

Dari cerita seperti diungkapkan dalam hadis tersebut, al-Adawi (2002:59) menjelaskan bahwa meskipun ‘Abdullah bin Amr mentaati bapaknya karena perintah Rasul, akan tetapi ia tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengangkat senjatanya untuk memerangi mereka.
Ketaatan seseorang dan rasa baktinya kepada kedua orang tuanya adalah awal dari ketaatan kepada Allah SWT. Oleh karena itu jika seseorang mengabaikan (durhaka) dan menyelisihi perintah mereka, berarti sama artinya ia durhaka kepada-Nya, dan menselisihi perintah Rasul-Nya. Tugas seorang anak adalah mentaati mereka selama tidak menyuruh kepada kemaksiatan, kesyirikan, bid’ah, kesesatan dan kemungkaran (al-Adawi, 2002:53).
Di antara perbuatan yang termasuk ketaatan kepada kedua orang tua adalah sebagai berikut:
1)    Mendengar pembicaraan keduanya
Seorang anak hendaknya mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya dan tidak membantah di hadapannya. Janganlah berbuat sesuatu yang tidak disukai oleh keduanya.
Dari Salâm bin Miskîn, ia berkata; “Aku bertanya kepada al-Hasan: “apa komentar anak bila seorang laki-laki menyerukan berbuat baik kepada orang tuanya dan mencegah kemungkaran atas mereka?.” Al-Hasan berkata: “Bila mereka berdua menerima, bila tidak maka tinggalkanlah.” (Dalam sanadnya terdapat Sâlim bin Miskîn bi Rabi’ah al-Azdi al-Bashri Abû Rauh. Imam Bukhari, Muslim, Muslim dan Abu Daud juga meriwayatkan hadisnya. Hadis & keterangan ini dari Ibn Al-Jauzi, tt:48)

2)    Mematuhi perintah keduanya
Wajib bagi anak untuk mematuhi perintah ibu-bapaknya, selama tidak memerintah kepada kemaksiatan.  Keharusan seseorang untuk mentaati kedua orang tua dapat dipahami dari hadis riwayat Ahmad, dari Muadz, ia berkata,
Rasulullah SAW berwasiat kepadaku: ”Janganlah kamu durhaka kepada kedua orang tuamu, sekalipun mereka memerintahkanmu untuk keluar dari keluargamun atau untuk melepaskan hartamu.” (dalam Ibn al-Jauzî, tt:15)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa,

Ibnu ‘Umar berkata, “Aku mempunyai istri yang Umar tidak suka kepadanya. Beliau berkata, “Ceraikan dia (istrimu)!” Aku tidak mau menceraikannya. Kemudian ‘Umar datang kepada Nabi SAW., lalu beliau berkata (kepadaku): “Taatilah kepada ayahmu.” (HR. Ahmad dalam Ibn al-Jauzî, tt:16)

Ketika Ka’ab ditanya berkaitan dengan masalah durhaka kepada kedua orang tua. Dia menjawab: “Bila kedua orang tuamu memerintahkan sesuatu kepadamu, sementara kamu tidak taat kepada mereka, maka hal itu berarti kamu telah durhaka kepada mereka.” (Ibn Al-Jauzi, tt:120)
Al-Ajli dalam  Ibn Al-Jauzi (tt:65) berkata: “Aku berkata kepada Atha’: “Pada suatu malam (dalam keadaan hujan) ibuku membuatku tidak dapat melakukan shalat berjamaah”—bisa jadi, si ibu memintanya untuk menemaninya.—Atha menjawab: “Taatlah kepadanya.”

3)    Memenuhi panggilan keduanya
Seorang anak hendaknya tidak mengabaikan panggilan kedua orang tuanya. Ibn Al-Jauzi (tt:55-56) menjelaskan bahwa tidak dibenarkan seorang mukmin tidak menghiraukan panggilan kedua orang tuanya, bahkan dalam shalat sekalipun, apabila orang tua memanggilnya, maka ia harus menjawab (memenuhi) panggilannya.
Al-Awwâm dalam Ibn Al-Jauzi (tt:49) berkata: “Aku berkata kepada Mujâhid: “Adzan telah dikumandangkan, lalu orang tuaku memanggilku.” Al-Mujâhid berkata, “Penuhilah panggilan ayahmu.” Ibnu Mudzakkir berkata: “Bila orang tuamu memanggilmu, sementara kamu melakukan shalat (sunnah), maka penuhilah.”
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa,
Dari Awza’i, dari Makhûli RA. ia berkata; “Bila ibumu memanggilmu dalam keadaan shalat (sunnah), maka penuhilah. Bila ayah yang memanggilmu, maka janganlah dikabulkan sehingga selesai shalat.”

Dengan demikan, memenuhi panggilan kedua orang tua adalah wajib adanya, bahkan disaat seorang anak sedang shalat sekalipun. Namun shalat yang dimaksud adalah shalat sunnah. Dan telah disebutkan di atas bahwa  ketika ibu yang memanggil (membutuhkan anaknya), meskipun ketika sang anak sedang shalat, maka harus memenuhi panggilannya. Berbeda jika ayah yang memanggil. Anak harus melanjutkan shalatnya terlebih dahulu, kecuali jika ia mulai melakukan shalat.
Nampaknya hal seperti ini mengingat bahwa kemulyaan dan kegungan ibu lebih besar dari ayah, sebagaimana hadis Nabi SAW.,
Dari Abi Hurairah r.a, ia  berkata: Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah kemudian bertanya: “Siapakah orang yang lebih berhak kutemani dengan baik?” Rasul menjawab: “Ibumu”, dia bertanya: “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab: “Ibumu”, dia bertanya: “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab: “Ibumu”, dia bertanya: “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab: “ayahmu” (HR. Muslim, no Hadis.2548)

Sebuah hadis lain menjelaskan bahwa,
 “للوالداة الثلثان من البروالوالدالثلث
“Seorang ibu mempunyai hak dua pertiga dari kebaikan (bakti dan ketaatannanaknya) dan untuk ayah sepertiganya.” (HR. Ibn Syaibah dalam kitab al-Durr al-Mantsur li al-Suyûtî dalam Ibn Al-Jauzi, tt:64)

4)    Berusaha Mendapatkan Ridha Keduanya
Hendaknya seorang anak menjaga sikap dan tindakannya terhadap kedua orang tuanya agar mereka senantiasa meridhai. Karena ke-ridhâ-an Allah terletak pada ke-ridhâ-an mereka. Rasulullah bersabda,
“Ridha Allah tergantung kepada ridha kedua orang tua dan benci-Nya tergantung kepada benci orang tua.” (HR. Abû Nu’aim, Kitab Hilyah (2/343) dalam ibn al-Jauzî, tt:105)

Zaid bin Ali bin Al-Husain pernah berkata kepada anaknya, Yahya:

“Sesungguhnya Allah SWT. tidak akan rela kepadamu jika aku tidak merelakanmu dan Allah berwasiat agar kamu memperbaiki/berbakti kepadaku. Allah akan rela kepadaku karenamu (yakni aku memelihara amanat Allah), sementara Allah tidak berwasiat kepadaku untuk berbakti kepadamu.

Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa kerelaan Allah akan didapat oleh seorang anak jika ia mendapatkan kerelaan dari kedua orang tuanya. Sementara orang tua (bapak) mendapatkan kerelaan Allah, jika orang tua (bapak) bisa menjaga amanat-Nya, bukan karena berbakti kepada anaknya (Ibn Al-Jauzi, tt:18)
Seorang sahabat Rasulullah hampir mengakhiri hidupnya dengan sû-ul khâtimah (buruk diakhir hidupnya) dikarenakan ibunya tidak memberikan maaf kepadanya. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam hadis berikut:
Dari Abdullah bin Awfa RA. ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW., lalu berkata: “Di sini terdapat pemuda yang sekarat (mendekati ajal).”Dikatakan kepadanya: “Katakanlah, “Lâilâha illallâh.”” Namun dia tidak mampu mengucapkannya. Rasul bersabda: “Bukankah dia waktu hidup dia mengucapkannya?” Mereka (para sahabat) berkata: “Benar.” Rasul bersabda: “Apakah yang mencegahnya untuk mengucapkannya ketika akan meninggal dunia?” Rasulullah bangun dan kamipun juga bangun bersamanya. Beliau mendatangi pemuda itu, lalu bersabda: “Wahai pemuda! Katakanlah Lâilâha illallâh!” pemuda itu menjawab: “Aku tidak bisa mengucapkannya.” Rasul bersabda : “Mengapa?” Dia menjawab: “Karena aku durhaka kepada ibuku.” Rasul bertanya: “Apakah dia masih hidup?” Dia menjawab: “benar”, Rasul bersabda: “Panggil-lah dia!” Para sahabat memanggilnya dan diapun dating kepada anaknya.Rasul bersabda: ”Apakah ini anakmu?” Sang ibu menjawab: “Benar”, Rasul bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila dinyalakan api (untuk membakarnya)?” bila kamu tidak mau memberikan maaf kepadanya, maka kami akan melemparkannya ke dalam api.” Sang ibu berkata: “Kalau begitu, aku memberikan maaf kepadanya.” Rasul bersabda: “Saksikan kepada Allah dan tunjukkan pada kita bahwa engkau telah rela kepadanya!” Sang ibu berkata: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu bahwa aku telah rela kepada anakku.”, Rasul bersabda: “Wahai anak muda! Katakanlah “Lâilâha illallâh”, pemuda itu berkata: “Lâilâha illallâh”, Rasul SAW. bersabda: “Segala puji bagi Allah yang menyelamatkannya dari api neraka.” (Hadis ini dikeluarkan al-Kharaithi dalam Masâwiul Akhlâq, lihat dalam ibn al-Jauzî, tt:105-108)

5)    Tidak Bepergian Kecuali dengan Izin Keduanya.
Seorang anak hendaknya tidak bepergian dengan tanpa izin kedua orang tuanya. Dikatakan bahwa bepergian untuk jihad dan berhijrah yang merupakan kewajiban kaum mulsim (pada zaman Rasulullah)-pun jika tidak mendapatkan restu/izin kedua orang tua, maka diharamkan. Hal ini dapat dipahami dari beberapa hadis berikut:
Dari Abdullah bin Umar RA., ia berkata, Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW. dan meminta izin untuk berjihad. Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “Ya, Rasulullah.”Rasulullah bersabda: “Berjihadlah kepada keduanya (berbakti kepada mereka).”(HR. Imam Bukhari, imam Muslim, Nasa’i, Ahmad dan imam Ibnu Hibban, lihat dalam ibn al-Jauzî, tt:21-22)

Dalam foot note-nya ibn al-Jauzî (tt:23) menjelaskan bahwa yang dimaksud berjihadlah kepada keduanya (berbakti kepada mereka) adalah berjihad melawan nafsu, melawan setan untuk mendapatkan kerelaan mereka dan mendahulukan kepentingan mereka daripada kepentingan diri sendiri selama tidak bertentangan dengan yang digariskan Allah. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa berjihad itu diharamkan bila kedua orang tua atau salah satunya melarangnya (dengan syarat keduanya muslim). Hal ini disebabkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua hukumnya fardlu ‘ain, sedangkan berjihad hukumnya fardlu kifâyah.
Mengenai wajibnya meminta izin kepada kedua orang tua juga dijelaskan dalam Al-Adawî[6] (2002:69-70), ia juga menjelaskan bahwa yang perlu dicermati bahwa jika jihad telah menjadi fardlu ‘ain maka tidak perlu minta izin, karena seperti dikatakan imam Al-Shan’ânî bahwa karena kemaslahatan dan manfaat jihad lebih luas. Jihad berfungsi untuk membela agama dan kaum muslimin secara umum. Oleh sebab itu kemaslahatan umum lebih diutamakan dari yang lainnya, termasuk berbakti kepada kedua orang tua yang hanya untuk menjaga kemaslahatan badan saja.
Dalam riwayat Abu Daud dinyatakan:
Dan dari Abdullah bin Umar RA, berkata demikian pula: “Seorang lelaki dating kepada Nabi SAW untuk berbai’at kepadanya, lalu berkata, “Aku datang (untuk) berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku menangis.” Rasulullah bersabda, “Kembalilah kepada mereka dan buatlah mereka tertawa sebagaimana kamu telah membuat membuat mereka menangis.” (HR. Abu Daud, dalam ibn al-Jauzî, tt:23)

Dalam hadis lain diriwayatka bahwa,

Dari Abu Sa’id, ia berkata: “Seorang lelaki dari Yaman hijrah kepada Rasulullah SAW. lalu Rasul berkata kepadanya: “Adakah kedua orang tuamu berada di Yaman?” Dia menjawab: “Ya.” Rasul bersabda: “Kembalilah kepada kepada kedua orang tuamu dan mintalah izin kepada mereka. Bila mereka memberi izin kepadamu, kemarilah, jika tidak, maka berbaktilah kepada mereka.” (HR. Abu Daud, dalam ibn al-Jauzî, tt:24)

b)    ADAB: Sopan Santun Kepada Kedua Orang Tua
Secara bahasa (Arab), “adab” berasal dari kata kerja “aduba—ya’dubu”  yang memiliki arti sopan, berbudi bahasa baik; mengundang ke pesta; menghimpun, mengumpulkan; memperbaiki; menghukum, mengambil tindakan. Bentuk masdhar-nya (kata bendanya) adalah “al-adab” yang berarti kesopanan, pendidikan, aturan, tata karma dalam pergaulan (etiquette). Dari akar kata itu pula terbentuk kata-kata “al-adib(u)” yang menjamu; “al-adîb(u)”, sastrawan; yang sopan atau adat tata karma (al-Munawwir, 2002:12-13). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:957) juga disebutkan bahwa istilah adab semakna dengan sopan dan santun[7]. Sopan santun adalah budi pekerti yang baik; tata krama; peradaban; kesusilaan (1997:957).
Dari urian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa maksud dari beradab kepada kedua orang tua adalah “berperilaku sopan dan santun kepada kedua orangtua.”
Diriwayatkan dari Sâ’id bin Al-Musyyab berkata, “Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah terhadap dirinya dan tidak beradab dengan perintah dan larangannya, maka ia akan terisolir.” (al-Qusyairi, 1998:421).

Imam al-Qusyairi (1998:421) menjelaskan bahwa hakikat kesopanan (adab) adalah keterkumpulan kebaikan. Seseorang yang beradab adalah orang yang telah mengumpulkan segala kebaikan, termasuk di antaranya pemberian jamuan.
Al-Jalâjili Al-Bashrî dalam al-Qusyairi (1998:422) berkata,
“Tauhid itu selalu berbarengan dengan iman. Barang siapa yang tidak mempunyai iman, maka ia tidak punya tauhid. Iman berbarengan dengan syari’at. Barang siapa yang tidak mempunyai syari’at, maka ia tidak punya iman juga tidak punya tauhid. Syari’at selalu berbarengan dengan adab (tata karma), Barangkali yang tidak punya adab, maka ia tidak punya syari’at, tidak punya iman,  dan  tidak punya tauhid.”

Maksud dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa seseorang yang bertauhid sudah tentu ia akan beriman. Jika ia beriman, berarti akan mengamalkan syari’at (aturan, ajaran) sebagai konskuensi dari keimanannya. Dan jika ia komitmen mengamalkan syari’at, sudah pasti dia akan memiliki perilaku kesopanan atau beradab, karena sopan santun atau adab tertuang dalam syari’at.
Dalam konsep Islam, esensi ajaran Islam adalah tauhîd. Menurut Sihab (2007:91), dari kesimpulan banyak pakar, jika ajaran Islam dilukiskan dalam satu kata, maka kata tersebut adalah “tauhîd”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tidak beradab, berarti ke-agama-annya perlu dipertanyakan. Na’udzubillâh min Dzâlik.
Di antara sopan santun seorang anak kepada kedua orang tua adalah sebagai berikut:
1)    Berkata dengan Lemah Lembut (Lunak)
Allah berfirman dalam QS. Al-Isrâ’/17:23,
وقضي ربك الا تعبدوا الا اياه وبالوالدين احسنا امايبلغن عندك الكبر احدهما اوكلاهما فلاتقل لهما اف ولاتنهرهما وقل لهما قولا كريما
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Seorang anak jika berbicara dengan kedua orang tuanya hendaklah dengan lemah lembut. Tidak mengangkat suaranya dengan keras di atas suara keduanya, tidak menepis atau menyangkal pembicaraan mereka, tidak membentak apalagi mencaci keduanya.
Al-Ad’adawî (2002:45) menjelaskan apabila seorang ayah memarahi, memukul, mencela atau mencaci anaknya, sang anak tidak boleh membalas perlakuan ayahnya dengan hal yang sama. Bagaimanapun keadaanya, tidak etis dan tidak baik jika seorang anak membalas perlakuan ayahnya, bahkan hal semacam ini diharamkan baginya kapanpun dan dimanapun adanya.
Keadaan seperti itu, pernah terjadi antara Abu Bakar dengan anaknya. Akan tetapi ia kemudian insyaf dan kembali setelah mengerti bahwa rasa marah dan emosi yang terjadi pada dirinya merupakan bisikan yang dihembuskan syetan. 

2)    Merendahkan Diri di Hadapannya
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Pada suatu ketika kami berada di sekitar Nabi saw. kemudian diberkan kepada beliau batu kerikil. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara pepohonan ada sebuah pohon yang layaknya seorang muslim.“ Lalu Saya ingin menjawabnya, bahwa pohon itu adalah kurma. Ternyata dari semua yang hadir saat itu, saya adalah orang yang paling muda di antara mereka, sehingga saya memilih diam. Selanjutnya Nabi saw. bersabda, “Pohon itu adalah pohon kurma.” (HR. Al-Bukharî [72], Muslim [2811])

Ibnu Katsir dalam al-Adawi (2002:29) ketika menjelaskan QS. Al-Isrâ’:24[8] واخفض لهما جناح الذل من الرحمة , maksudnya adalah berperilakulah di hadapan mereka dengan segala kerendahan dirimu.

3)    Tidak Memanggil Keduanya dengan Namanya, Tidak Berjalan dihadapan Keduanya dan Tidak Duduk Sebelum Mempersilahkan Mereka Duduk.

Jika seorang anak memanggil orang tuanya (bapak-ibu), maka hendaknya tidak memanggil dengan menyebut namanya. Jika dalam perjalanan, berjalan bersama dengan ibu-bapaknya, hendaknya tidak berjalan di depannya, kecuali mendapatkan izin atau dipersilahkan oleh keduanya. Dan jika dalam jamuan tamu atau keadaan bersama mereka janganlah duduk sebelum mempersilahkan duduk kepada keduanya.
Dari Abû Hurairah ra., “Sesungguhnya Abû Hurairah ra. melihat dua orang lelaki lalu ia berkata kepada salah satunya: “Apakah hubungan orang ini denganmu?” Dia menjawab, “Ayahku.” Abû Hurairah berkata, “Jangan memanggilnya dengan namanya, jangan berjalan di mukanya, dan jangan duduk sebelumnya (mendahuluinya).” (HR. Thabrânî dalam kitab al-Autash, dalam Jauzi, tt:46)

Farqad dalam Ibn Al-Jauzi (tt:55-56) berkata,
“Tidaklah berbakti seorang anak yang memperlama pandangan kepada orang tuanya. Dan sungguh melihat kepada mereka adalah ibadah. Tidak layak seorang anak berjalan di muka keduanya.tidak berbicara bila mereka datang dan tidak berjalan di arah kanan atau kirinya. Kecuali bila mereka memanggilnya, lalu mengabulkan panggilan mereka, atau mereka memerintahkan sesuatu kepadanya dan dia menaatinya. Dan hendaknya berjalan di belakang mereka seperti seorang budak yang hina.”

Di samping itu, ketika dalam suatu waktu para orang tua sedang duduk, maka janganlah seorang anak berdiri, sementara mereka yang tua duduk. Sebuah yang mengisyaratkan hal ini sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir r.a. berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw. merasa sakit dan kami shalat di beakang beliau yang shalat sambil duduk, sedangkan Abu Bakar menyambung bacaan takbir Rasulullah agar didengar para shahabat yang lain. Tiba-tiba Rasulullah menoleh ke arah kami dan melihat kami dalam posisi berdiri, beliau mengisyaratkan kepada kami untuk tetap duduk. Setelah salam Rasulullah bersabda, “Tadi kalian hamper saja melakukan kebiasaan kaumPersia dan Romawi. Yaitu: mereka berdiri kepada pemimpinnya sedangkan pemimpinnya duduk, jangan kalian melakukan hal itu. Tirulah apa yang dilakukan imam yang memimpinmu. Jika ia shalat sambil berdiri, maka shalatlah kalian dengan berdiri, jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.”(HR. Muslim, no.413)

Merujuk kepada hadis tersebut, al-Adawi (2002:43) memberi penjelasan bahwa meskipun hadis tersebut membahas mengenai hukum yang terkait dengan hukum shalat, yakni makmum berdiri sementara imam duduk, namun ada hal yang penting yang bisa ditangkap sebagai pelajaran bahwa dimakruhkan seorang anak berdiri sementara kedua orang tuanya duduk.

4)    Tidak Melirik Keduanya dengan Marah
Maksudnya bahwa tidak boleh seorang anak memandang kedua orang tuanya dengan pandangan yang kasar (melototi). Menurut Al-Qurtubi dalam (al-Adawi, 2002:29-30) bahwa ketika menjelaskan QS. Al-Isrâ’:24,
واخفض لهما جناح الذل من الرحمة  “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan“. Hendaknya seseorang bersikap dengan serendah-rendahnya di hadapan ke dua ibu bapaknya, baik dalam perkataan, tingkah laku maupun pandangan. Sangat tidak pantas jika ia membelalakan matanya ke arah keduanya meskipun ia berada dalam puncak kemarahan. Kemudian dikatakan bahwa ‘Urwah bin Zubair berkata, “Tidak berbakti kepada kedua orang tuanya, yaitu orang yang memandang mereka dengan tajam.” (dalam Ibn Al-Jauzi, tt:118)
Pandanglah kedua orang tua dengan pandangan penuh hormat dan kasih sayang, tidak dengan pandangan tajam yang bisa berakibat ketersinggugan dan kemarahan mereka. Sebuah hadis yang diriwayatkan Baihaqi menjelaskan, “Melihat kepada kedua orang tua adalah ibadah.”  Dalam kitab al-Durr al-Mantsur li al-Suyûti, bahkan ditambahkan bahwa, “Dan melihat ka’bah, mushhaf serta saudaramu karena cinta kepada Allah adalah ibadah.” (lihat Ibn Al-Jauzi, tt:49)




5)    Tidak Mencegah Sesuatu yang Disenangi Mereka Berdua
Imam Bukharî meriwayatkan dalam “Al-Adâbul Mufrad” dengan sanad yang shahih dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Makna (Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang) adalah janganlah sekali-kali engkau mencegah atau melarang sesuatu yang mereka senangi.” (al-Adawî, 2002:29)
Suatu saat seseorang bertanya kepada Nabi saw, “ya Rasulullah! siapakah orang yang paling utama saya lakukan kebaikan?” Beliau menjawab, “Berbuat kebajikan kepada ibu bapakmu! Orang itu bertanya lagi, “Saya tidak memiliki ibu bapak lagi.” Lalu sabda beliau selanjutnya, ”Berbuatlah kebajikan kepada anakmu, sebagaimana ibu-bapakmu memiliki hak atasmu, maka begitu pula anakmu memiliki hak atasmu!(HR. abî Umar al-Tauqânî dari ‘Utsmân bin ‘Affân dalam al-Ghazalî, tth:217)

6)    Dalam Hidangan Makanan Hendaknya Mendahulukan Kedua Orang Tua

Seorang anak hendaknya tidak mementingkan diri sendiri dari kedua orang tuanya, dalam hal makanan dan minuman. Ketika sama-sama membutuhkan suatu makanan, maka dipersilahkan atau diutamakanlah keduanya terlebih dahulu.
Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim Dari Ibnu Umar RA. dari Rasulullah SAW. bersabda: “Ada tiga pemuda yang sedang berjalan-jalan, ketka hujan turu, mereka berteduh di dalam goa yang terletang di kaki gunung. Secara tiba-tiba seonggok batu gunung bergelinding lalu menutup pintu goa tempat mereka berteduh. Mereka lantas berkata: “Cobalah kalian mengingat amal-amal shalih yang pernah kalian perbuat, jadikanlah ia perantara (tawassul) untuk berdo’a kepada Allah, semoga Allah membebaskan kaliandari kesulitan ini. kemudian salah satu dari mereka berkata: “Ya Allah sesungguhnya saya memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut usia, seorang istri serta satu anak perempuan yang masih kecil, dan saya yang bertanggung jawab ata mereka semua. Setiap saya pulang dari menggembala, saya selalu memeraskan dan membuatkan susu untuk mereka. Saya memulainya dari kedua orang tua saya ebelum istri dan anak perempuan saya, sedangkan jarak keduanya agak jauh. Pada suatu hari saya belum sempat menemui orang tua saya hingga sore hari, kemudian saya dapati keduanya telah tdur lelap, sayapun memerah susu untuk mereka berdua sebagaimana biasanya, kemudian saya mendatangi mereka dengan segelas sususambil menunggu dalam keadaan berdiri di sebelah mereka. Saya enggan membangunkan keduanya, saya juga tidak mau memberikan susu ini kepada bayi saya, walaupun ia merengek dan mengeluh karena rasa lapar. Kondisi ini terus bertahan hingga dating waktu fajar. Keduanya lalu bangun dan meminum susu itu. Ya Allah jika sekiranya Engkau mengerti saya melakukan hal itu karena hanya mencari ke-ridha-an-Mu, maka bebakanlah kami dari batu ini hingga kami bisa melihat langit. Kemudian Allah pun membebaskan mereka dari himpitan batu hingga mereka bisa melihat langit. (HR. Bukhari, 5974 dan Muslim, 2743 dengan menggunakan lafadz dari Imam Muslim) 

c)     TANGGUNG JAWAB: Bertanggung Jawab Atas Keadaan Kedua Orang Tua

Tanggung jawab secara bahasa berarti 1) keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. 2) huk fungsi menerima pembebanan. Bertanggung jawab berarti 1) berkewajiban menanggung; memikul tanggung jawab; 2) menanggung segala sesuatunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997:1006)
Dalam sebuah hadis mutafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar menceritakan bahwa,
كلكم راع وكلكم مسئول عن راعيته فالامام راع وهو مسئول عن راعيته والرجل راع في اهله وهو مسئول عن راعيته والمرة راعيته بيت زوجها وهي مسئولة عن راعيتها والخادم راع   في مال سيده وهو مسئول عن راعيته والابن راع   في مال ابيه وهو مسئول عن راعيته فكلكم راع وكلكم مسئول عن راعيته ( متفق عليه عن ابن عمر)

“Masing-masing kamu adalah penggembala dan masing-masing kamu bertanggung jawab terhadap yang digembalakan, maka pemimpin adalah penggembala dan bertanggung jawab atas gembalaannya; seorang laki-laki adalah penggembala atas keluarganya dan harus bertanggung jawab atas gembalaannya, orang perempuan adalah penggembala/penjaga di dalam rumah suaminya dan dia harus bertanggung jawab atas tugas penjagaannya, dan pembantu rumah adalah penggembala/penjaga harta milik tuannya dan ia bertanggung jawab terhadap tugasnya, dan anak laki itu penjaga harta milik ayahnya, dan harus bertanggung jawab terhadap tugasnya. Maka masing-masing dari kamu itu adalah penggembala/penjaga dan masing-masingnya akan dimintai pertanggung jawab  atas tugas gembalaannya/penjagaannya itu.” 

Dalam hadis tersebut disebutkan kata mas’ûlun yang diartikan sebagai ‘bertanggung jawab’ atau ‘akan dipertanyakan’. Maksudnya bahwa setiap orang akan dikenai pertanyaan mengenai perilaku dirinya dan hal-hal yang berkaitan atau ada hubungan dengannya (ketika di dunia). Hal ini dapat dikatakan pula bahwa setiap orang akan bertanggung jawab terhadap segala perilaku yang diperbuatnya.
Beterns (2004:125) menjelaskan bahwa bertanggung jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab, melainkan juga ia harus menjawab. Orang yang bertanggung jawab tidak boleh mengelak, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Jawaban yang dimaksud adalah jawaban yang harus diberikan kepada diri sendiri, masyarakat luas dan kepada Tuhan (jika dia seorang yang beragama).
Menurut hemat penulis secara sederhana bisa dikatakan bahwa orang yang bertanggung jawab berarti orang yang mampu menyelaraskan antara hak dan kewajibannya. Anak bertanggung jawab atas kedua orang tua berarti ia memperhatikan dan memperdulikan terhadap apa yang dilakukan dan dirasakan kedua orang tua atas dasar hak-hak dan kewajiban sebagai seorang anak.
Al-Hasan, dalam Ibn Al-Jauzi, tt:118—yang dikutip dari kitab al-Durr al-Mantsûr li al-Syuyûthy (4/171)—pernah ditanya oleh seseorang mengenai berbakti kepada orang tua, lalu ia berkata, “Hendaklah kamu korbankan apa yang kamu miliki dan menaati mereka selama tidak maksiat.”
Di saat kedua orang tua telah memasuki masa-masa tua dan lemah, hendaknya seorang anak lebih giat dan semangat dalam berbakti kepada kedua orang tuanya. Karena, kondisi yang semakin tua dan lemah membuat orang tua lebih butuh perhatian dan kasih sayang dari anak-anaknya (al-‘Adawi, 2002:25).
Al-‘Adawî, 2002:13) mengungkapkan bahwa, di antara amal kebaikan yang paling besar dan mulia adalah berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama ketika mereka telah memasuki usia senja. Betapa besarnya pengaruh berbakti kepada kedua orang tua dalam mendatangkan keselamatan dan menghilangkan kesusahan. Tanggung jawab untuk memberikan kebutuhan pokok kepada orang tua yang telah tua renta lebih diutamakan daripada kebutuhan untuk diri sendiri. Hadis mengenai hal ini telah di tuturkan di muka[9]. Demikianlah pengaruh dari baktinya seorang anak kepada kedua orang tuanya, sehingga dapat membantu seseorang dari himpitan kesusahan.
Imam al-Qurthubi Rahimahullahu dalam menafsirkan firman Allah SWT. “Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut.” (QS. Al-Isrâ’/17:23), maksud Allah mengkhususkan  pada kondisi lanjut usia dikarenakan bahwa pada masa-masa tersebut kedua orang tua sangat membutuhkan rasa bakti seorang anak dan kondisi kondisi kedua orang tua telah berubah menjadi lemah dan tua. Maka Allah pun mewajibkan kepada anak agar lebih memperhatikan keadaan mereka daripada keadaan sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, kedua orang tua juga sudah menjadi tanggungan bagi anak. Maka keadaan keduanya perlu dimaklumi. Sebagaimana halnya seorang anak pernah membuat keduanya harus memaklumi keadaannya di saat ia masih kecil. Oleh karenanya Allah mengkhususkan keadaan ini dan mengabadikannya dalam al-Qur’an (al-‘Adawi, 2002:27-28)
Hadis Imam Muslim dari Abu Hurairah RA. berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak sanggup seorang anak membayar jasa kedua orang tuanya, kecuali apabila ia mendapatkannya sebagai budak kemudian ia membeli dan membebaskannya.” Imam Al-Nawawi menjelaskan mengenai maksud dari pada hadis tersebut adalah tidak akan cukup seorang anak membalas kebaikan orang tuanya, meskipun seandainya ia menemukan orang tuanya dalam keadaan sebagai seorang budak, kemudian ia membelinya dan memenuhi hak-haknya sebaik mungkin, kecuali jika ia memerdekakannya (dalam al-‘Adawi, 2002:12)
Atsar dari ibnu ‘Umar RA. (dengan sanad yang shahih) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam “Al-Adâb al-Mufrad” dari Thaisalah bin Mayyas berkata, “Ketika saya bersama al-Najdât[10], saya melakukan dosa yang saya anggap termasuk bagian dari dosa-dosa besar, kemudian saya menceritakan mengenai hal tersebut kepada Ibnu ‘Umr. Ibnu ‘Umar bertanya, “dosa apa itu?” Saya bercerita, “dosa ini dan itu. ”Ibnu ‘Umar menjawab, “itu tidak termasuk dosa-dosa besar. Dosa-dosa besar itu ada sembilan macam, yakni: Menyekutukan Allah, membunuh manusia, lari dari medan perang, menuduh orang berzina, memakan riba, memakan harta anak yatim, berbuat penyimpangan dalam masjid, mengolok-olok dan tangisan orang tua karena kedurhakaan seorang anak. Kemudian ibnu Umar berkata kepada saya, “Apakah kamu menginginkan selamat dari neraka dan masuk surga?” Saya menjawab, “Sungguh demi Allah.” Beliau berkata, Apakah orang tuamu masih hidup?” Saya menjawab, “Saya masih mempunyai ibu.”  Ibnu ‘Umar berkata, “Sungguh demi Allah, jika kamu mau melembutkan perkataanmu kepadanya, memberinya makan, niscaya kamu akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (dalam al-Adawî, 2002:19)

d)    DO’A: Mendoakan Kedua Orang Tua
Secara bahasa “doa” berasal dari bahasa Arab, dalam bentuk kata kerja “da’a—yad’û—du’âan” yang memiliki arti beraneka ragam, yakni: memanggil, mengundang; minta tolong; meminta, memohon;, menyuruh datang; mendorong, menyebabkan; mendoakan baik; mendoakan jelek; meratapi. Sedang dalam bentuk kata bendanya, yakni “al-Du’â (bentuk jamaknya, “ad’iyah”) berarti seruan, panggilan; permintaan; permohonan, permintaan, doa; dan yang banyak memohon atau berdoa (al-Munawwir, 2002:406).
Secara terminologi do’a berarti melahirkan kehinaan dan kerendahan diri dalam keadaan tiada berdaya dan tiada kekuatan dan kemudian menyatakan hajat, keperluan dan ketundukan kepada Allah (Ghafur, 2004:212). Do’a juga dimaksudkan sebagai upaya memanggil Allah dalam rangka mengajukan permohonan kepada-Nya. Pada hakekatnya esensi do’a tidak berbeda dengan perintah (amar). Perbedaannya, kalau do’a diajukan dari bawah ke atas, sedangkan amar dititahkan dari atas ke bawah (Ghafur, 2004:212). 
Mendo’akan kedua orang tua berarti memohon dan memintakan hajat, keperluan dan ketundukan kepada Allah SWT untuk kemaslahatan kedua orang tua. Do’a untuk kedua orang tua seperti yang diajarkan al-Qur’an adalah mendoakan agar kedua orang tua diampuni dari dosa-dosanya, dikasih sayangi sebagaimana mereka telah mengasih sayangi anak-anak mereka dan diberi petunjuk serta keselamatan di dunia dan akhirat.
Mendoakan kedua orang tua merupakan kewajiban bagi seorang anak. Sebuah hadis menyatakan,
“Wahai Rasulullah! Adakah sesuatu (bagiku) untuk berbakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia? Rasul menjawab, “Ya, ada empat perkara: Berdo’a untuk mereka, memintakan ampun mereka, melaksanakan wasiat mereka, menghormati teman-teman mereka dan menyambung sanak kerabat yang tidak ada hubungan denganmu kecuali dengan mereka.” (HR.Bukharî, dalam Jauzi, tt, 150-151) 

Do’a anak akan menjadi amal kebaikan dan akan dapat meringankan beban orang tua  ketika mereka berada di alam baka. Karena di antara amal di dunia yang dapat sampai memberi manfa’at dan syafa’at kepada orang yang telah meninggal adalah do’a anak yang shalih.
Diriwayatkan dari Abû Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika anak Âdam meninggal maka amalnya telah terputus, kecuali tiga hal: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak yang shaleh yang meno’akan orang tuanya.” (HR.Bukharî)

Dari Abû Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung akan mengangkat derajat hamba-Nya yang shalih di surga, merekapun berkata, “Wahai Tuhanku, dari manakah semua ini?” Allah berfirman, “Dari anakmu.” (HR. Ahmad, dalam Jauzi, tt, 151-152) 

Allah berfirman dan mengajarkan do’a untuk kedua orang tua sebagaimana terlukis dalam QS.al-Isrâ’/17:24:
واخفض لهماجناح من الدل من الرحمه وقل رب ارحمهما كماربياني صغيرا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS.al-Isrâ’/17:24)

Do’a Nabi Nuh AS. sebagaimana yang temaktub dalam QS. Nûh/71:28,
رب اغفرلي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنت ولا تزد الظلمين الا تبارا
“Ya Tuhanku! ampunilah Aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (QS. Nûh/71:28)

   Nabi Ibrâhîm AS. juga berdo’a (dalam QS.Ibrâhîm/14:41),
ربنا اغفرلي ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب

“Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS. Ibrâhîm/14:41)

Seorang anak yang shaleh adalah anak yang selalu santun kepada kedua orang tuanya dan tidak lupa selalu meminta kepada Allah agar keduanya senantiasa diliputi kebaikan, meskipun orang tuanya kafir, ia selalu berharap agar orang tuanya diberi petunjuk kebaikan dan tidak ingin orang tuanya mendapatkan siksaan. Bahkan ia selalu memberi masukan-masukan demi kebaikan orang tua hingga ahir hayat orang tuanya (al-‘Adawi, 2002:66)
Hal tersebut seperti yang pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrâhim AS. ketika beliau mengharapkan agar bapaknya kembali kepada kebenaran (QS. Maryam/19:41-45[11]), bahkan Ibrahim tetap memintakan ampun untuk ayahnya setelah kematiannya, akan tetapi kemudian Allah melarangnya (QS. Al-Taubah/9:114[12]). Demikian pula yang pernah dialami oleh Abu Hurairah yang meminta kepada Rasulullah SAW. untuk mendo’akan ibunya yang masih musyrik agar mendapatkan petunjuk[13].



[1] Al-hasan berarti ibarat untuk setiap hal yang menyenangkan dan menggembirakan seperti sesuatu yang bagus, baik, cantik, elok, indah. Lawan katanya adalah al-qubh, yang berarti sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan mata dan sesuatu perbuatan atau hal ihwal yang tidak sesuai dengan hati nurani. Al-khair, berarti sesuatu yang disenangi oleh manusia (kecenderungan atau condong). Lawan katanya adalah al-Syarr yang berarti sesuatu yang tidak disenangi oleh setiap orang. Al-shâlih, maksudnya adalah mengikuti peraturan yang telah ditentukan (mengikuti ajaran agama). Lawan katanya adalah fasad, yang berarti kerusakan. Yaitu keluarnya sesuatu dari garis yang ditentukan. Al-thayyib,  berarti sesuatu yang disenangi karena mulia dan baik. Lawan katanya al-Khabîts yang berarti sesuatu yang dibenci karena hina & rendah. Dan al-ma’rûf, berarti semua perbuatan yang diketahui kebaikannya baik ditinjau dari akal maupun syara’. Sedangkan al-birr berarti “baik” jika dihubungkan dengan orang tua, “mabrur” jika dihubungkan dengan haji, “benar “jika dihubungkan dengan janji, “laris” jika dihubungkan dengan dagangan, “terhindar subhat, dusta dan khianat” jika dihubungkan dengan jual beli, ”memperbanyak ketaatan” jika dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua (Lihat dalam Budiharjo, 1994:29)
[2] Al-Wâlidaini merupakan bentuk mudlâf ilaih, di mana dalam keadaan rafa’nya adalah Al-Wâlidâni (kedua orang tua, ibu dan bapak)
[3] ”.. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mâidah/5:2)
[4] Menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, bahwa kata al-birr mencakup hampir seluruh perbuatan baik: to be reverent, dutiful, devoted; to be kind; to be charitable, beneficent, do good; to obey; to treat with reverence, to honor; to be honest, truthfull, to be true, valid; to keep, to warrant, justify, vindicate; to acquit, absolve, exonerate, exculpate, dan clear (Lihat dalam Syukur, 2004:250)

[5] Diriwayatkan al-Bukhârî pada Fath al-Barî (13/233), Muslim (1840)
[6] Ada 2 keadaan yang memerlukan izin kedua orang tua ketika hendak berhijrah, yakni: pertama, jika kedua orang tuanya muslim dan kedua,  jika hukum berjihad itu fardu kifâyah. Ibn Hazm dalam kitabnya “Al-Muhallâ” berkata: “Tidak boleh berjihad tanpa izin kedua orang tua. Kecuali jika musuh sudah menyerbu dan memasuki daerah kaum muslimin, maka bagi siapapun yang bisa menolongnya, wajib untuk dating dan menolong mereka, apakah kedua orang tuanya mengizinkannya ataupun tidak. Kecuali, jika keduanya atau salah satunya menghilang setelah sepeninggalnya. Maka dia tidak boleh meninggalkan salah satu yang masih tersisa.”  (LIhat dalam Al-Adawî, 2002:65)

[7] Sopan berarti 1) hormat dan takzim; tertib menurut adat yang baik; 2) beradab; tahu adat; baik budi bahasanya; 3) baik kelakuannya. Kemudian santun berarti 1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan; sabar dan tenang; 2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong. (1997:878).
[8] “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan “

[9] Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim Dari Ibnu Umar RA. dari Rasulullah SAW. bersabda: “Ada tiga pemuda yang sedang berjalan-jalan, ketka hujan turu, mereka berteduh di dalam goa yang terletang di kaki gunung. Secara tiba-tiba seonggok batu gunung bergelinding lalu menutup pintu goa tempat mereka berteduh. Mereka lantas berkata: “Cobalah kalian mengingat amal-amal shalih yang pernah kalian perbuat, jadikanlah ia perantara (tawassul) untuk berdo’a kepada Allah, semoga Allah membebaskan kaliandari kesulitan ini. kemudian salah satu dari mereka berkata: “Ya Allah sesungguhnya saya memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut usia, seorang istri serta satu anak perempuan yang masih kecil, dan saya yang bertanggung jawab ata mereka semua. Setiap saya pulang dari menggembala, saya selalu memeraskan dan membuatkan susu untuk mereka. Saya memulainya dari kedua orang tua saya sebelum istri dan anak perempuan saya, sedangkan jarak keduanya agak jauh. Pada suatu hari saya belum sempat menemui orang tua saya hingga sore hari, kemudian saya dapati keduanya telah tdur lelap, sayapun memerah susu untuk mereka berdua sebagaimana biasanya, kemudian saya mendatangi mereka dengan segelas sususambil menunggu dalam keadaan berdiri di sebelah mereka. Saya enggan membangunkan keduanya, saya juga tidak mau memberikan susu ini kepada bayi saya, walaupun ia merengek dan mengeluh karena rasa lapar. Kondisi ini terus bertahan hingga dating waktu fajar. Keduanya lalu bangun dan meminum susu itu. Ya Allah jika sekiranya Engkau mengerti saya melakukan hal itu karena hanya mencari ke-ridha-an-Mu, maka bebakanlah kami dari batu ini hingga kami bisa melihat langit. Kemudian Allah pun membebaskan mereka dari himpitan batu hingga mereka bisa melihat langit. (HR. Bukhari, 5974 dan Muslim, 2743 dengan menggunakan lafadz dari Imam Muslim)
[10] Al-Najdât adalah sahabat Najdah bin’Amir al-Khârijî sebagaimana dikatakan Fadlullâh al-Jailânî
[11]“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan" (QS. Maryam/19:41-45)
[12]“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.” (QS. Al-Taubah/9:114)
[13] Imam Muslim meriwayatkan dalam shaihnya dari hadis Abu Hurairah RA., ia berkata: “Saya mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Pada suatu hari saya mengajaknya untuk masuk Islam, namun saya malah mendengarnya mengatakan tentang Rasulullah SAW. sesuatu yang saya membencinya. Kemudian saya mendatangi Rasulullah SAW. sambil menangis. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sudah mengajak ibuku untuk masuk Islam, akan tetapi ia enggan dan tidak mendengarkanku. Pada hari ini saya juga mengajaknya masuk Islam, akan tetapi saya malah mendengarnya mengatakan tentang dirimu seuatu yang saya membencinya. Berdo’alah kepada Allah agar berkenan memberi petunjuk kepada ibuku. Lalu Rasulullah SAW. berkata: “Ya Allah berilkanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.” Kemudian saya keluar mengharapkan berita menyenangkan dengan adanya do’a Rasulullah. Ketika sampai saya langsung menuju pintu, ternyata dalam keadaan tertutup. Lalu saya mendengar ibuku bergegas sambil berkata: “Jangan masuk dulu wahai Abu Hurairah!” Kemudian saya mendengar bunyi gemercik air. Abu Hurairah berkata: “Ibuku sudah mandi lalu memakai pakaiannya dan cepat-cepat memakai penutup mukanya kemudian membuka pintu dan berkata: “Wahai Abu Hurairah saya bersaksi bahwasanya tidak Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah. Abu Hurairah berkata: “Kemudian saya kembali kepada Rasulullah SAW. dan menemuinya sambil menangis karena gembira.” Saya berkata: “Wahai Rasulullah saya memberimu kabar gembira; Allah telah mengabulkan do’a-mu dan memberi petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.” Kemudia Rasulullah memuji Allah dan mengatakan sesuatu yang baik. Saya (Abu Hurairah) berkata: “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar saya dan ibu saya menjadi cinta kepada orang-orang yang beriman dan merekapun mencintai kami. Abu Hurairah berkata: “Kemudian Rasulullah SAW. berkata: “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini (maksudnya Abu Hurairah) dan ibunya mencintai orang-orang yang beriman, dan jadikanlah mereka mencintai keduanya.” Maka tidak ada dijadikan seorang mukmin yang mendengar dan melihat saya, kecuali ia mencintai saya. (HR. Muslim, No. 2491)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar